Opini

Opini: Euforia dan Luka di Beranda Kita

Pilkada bukan hanya soal memilih pemimpin, tetapi juga menjadi medan pertarungan opini yang sering kali melupakan nilai-nilai demokrasi.

Editor: Dion DB Putra
DOK PRIBADI
Tian Rahmat 

Oleh: Tian Rahmat
Alumnus Filsafat IFTK Ledalero Maumere, pemerhati Isu-isu strategis

POS-KUPANG.COM - Pasca Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024, berbagai emosi bercampur di beranda media sosial kita. 

Dari euforia pendukung yang calonnya keluar sebagai pemenang hingga luka psikologis pendukung yang merasakan kekalahan, perang narasi antar pendukung kandidat telah meninggalkan jejak yang mendalam dalam kehidupan sosial kita. 

Pilkada bukan hanya soal memilih pemimpin, tetapi juga menjadi medan pertarungan opini yang sering kali melupakan nilai-nilai demokrasi.

Euforia: Kemenangan yang Membutakan?

Kemenangan kandidat yang didukung sering kali membawa gelombang euforia. 

Di berbagai daerah, perayaan kemenangan ini dirayakan dengan konvoi, pesta rakyat, dan bahkan perang tagar di media sosial. 

Namun, ada yang lebih dalam dari sekadar euforia ini. Profesor politik dari Universitas Gadjah Mada, Cornelis Lay, pernah menulis bahwa “kemenangan dalam demokrasi harus dimaknai sebagai tanggung jawab, bukan sekadar pesta kemenangan” (Lay, Demokrasi dalam Praktik, 2018).

Sayangnya, dalam konteks Pilkada 2024, euforia sering kali mengaburkan pandangan kritis terhadap realitas politik. 

Para pendukung cenderung menutup mata terhadap janji-janji kosong yang kerap dilontarkan selama kampanye. 

Sebuah laporan dari Kompas pada 21 Oktober 2024 menunjukkan bahwa 78 persen masyarakat Indonesia lebih tertarik pada citra kandidat di media sosial daripada program kerja yang ditawarkan. 

Fenomena ini hemat saya menunjukkan bahwa euforia sering kali membutakan kita dari tugas utama seorang pemilih: menjadi pengawas yang kritis terhadap pemimpin yang telah dipilih.

Luka: Trauma Kekalahan yang Memecah

Di sisi lain, kekalahan adalah pengalaman pahit bagi para pendukung kandidat yang gagal. 

Media sosial menjadi tempat mereka melampiaskan frustrasi, dari kritik konstruktif hingga hujatan destruktif. 

“Kegagalan dalam kancah politik kerap menjadi bara yang menyulut perpecahan sosial semakin tajam,” ujar Dr. Philips Vermonte, peneliti senior di CSIS. Tempo 25 Oktober 2024.

Luka ini tidak hanya menyentuh perasaan pribadi, tetapi juga mencabik-cabik ikatan social kita sebagai sebuah komunitas. 

Di berbagai daerah, gesekan antarpendukung sering kali memanas hingga merusak harmoni sosial. 

Contohnya, di Kabupaten Kupang, perbedaan pilihan politik berujung pada aksi protes yang berlarut-larut hingga memengaruhi hubungan antarwarga. 

Sebuah artikel dari Pos Kupang pada 22 Oktober 2024 mencatat bahwa konflik ini sering kali diperparah oleh provokasi di media sosial yang tidak terkontrol.

Perang Narasi: Ruang Publik yang Terbelah

Media sosial, sebagai ruang publik virtual, telah berubah menjadi medan perang narasi selama Pilkada 2024. Tagar-tagar dukungan seperti #PrabowoGibran2024 atau #PerubahanUntukNTT berseliweran di beranda kita. 

Namun, di balik tagar ini terselip strategi komunikasi politik yang memanipulasi emosi publik.

Menurut buku The Age of Surveillance Capitalism karya Shoshana Zuboff (2019), algoritma media sosial cenderung memperkuat konten yang kontroversial dan memancing emosi, sehingga memperburuk polarisasi. 

Hal ini tercermin dalam laporan Detikcom pada 24 Oktober 2024, yang menyebutkan bahwa selama masa kampanye, lebih dari 60 persen unggahan terkait Pilkada di Facebook dan Twitter berisi konten provokatif atau hoaks.

Pendukung kandidat sering kali terjebak dalam narasi yang saling menghancurkan. Unggahan bernada ujaran kebencian, fitnah, hingga pelecehan personal menjadi pemandangan umum.

“Pertempuran narasi ini melahirkan lanskap politik yang dipenuhi bara dendam, mengikis ruang bagi dialog yang bermartabat,” ujar Prof. Azyumardi Azra. Jakarta, 29 Oktober 2024.

Refleksi: Menata Ulang Demokrasi Kita

Di tengah euforia dan luka yang melanda, hemat saya penting bagi kita untuk melakukan refleksi mendalam tentang wajah demokrasi kita. 

Pilkada idealnya menjadi tonggak pemersatu dalam perjalanan demokrasi, bukan jurang pemisah. Namun, kenyataan berbicara lain; kita masih terpaut jauh dari bayangan luhur tersebut.

Ada beberapa hal yang perlu diperbaiki. Pertama, edukasi politik kepada masyarakat harus ditingkatkan. 

Partisipasi politik yang sehat tidak hanya tentang menggunakan hak suara, tetapi juga memahami esensi demokrasi. Dalam bukunya, Democracy and Education (1916), John Dewey menekankan pentingnya pendidikan sebagai landasan demokrasi yang kuat.

Kedua, regulasi terhadap media sosial perlu diperketat. Pemerintah bersama penyedia platform harus memastikan bahwa algoritma tidak memperkuat polarisasi. 

Sebuah studi dari Pew Research Center pada 2020 menunjukkan bahwa regulasi platform media sosial dapat mengurangi penyebaran konten provokatif hingga 45 persen.

Ketiga, para pemimpin politik harus mengambil peran sebagai perekat, bukan pemecah.

“Pemimpin sejati adalah mereka yang mampu merangkul semua pihak, bukan hanya pendukungnya,” ujar Gus Dur dalam salah satu tulisannya di Tempo pada 2004.

Menjemput Harapan di Tengah Luka

Pilkada 2024 telah usai, tetapi dampaknya masih terasa. Euforia kemenangan dan luka kekalahan adalah dua sisi mata uang yang selalu ada dalam demokrasi. 

Namun, kita memiliki pilihan untuk menjadikan pengalaman ini sebagai pelajaran berharga.

Kita perlu mengubah perang narasi menjadi dialog konstruktif. Kita perlu menata ulang ruang publik kita agar menjadi tempat yang inklusif dan penuh penghormatan. 

Dan yang terpenting, kita perlu memahami bahwa demokrasi bukan hanya tentang menang atau kalah, tetapi tentang menjaga martabat bersama sebagai bangsa.

Semoga dari euforia dan luka ini, hemat saya kita bisa menjemput harapan untuk Indonesia yang lebih baik. 

Sebagaimana bijaknya Nelson Mandela pernah berkata, “Bagi saya, kekalahan bukanlah akhir. Saya selalu menemukan kemenangan atau pelajaran berharga di setiap langkah.”  (*)

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved