Opini
Opini: Pilkada Ceria
Sistem pemilihan langsung untuk posisi di bidang legislatif dan eksekutif ini tidak cocok untuk masyarakat kita di Indonesia saat ini.
Oleh: Anton Bele
Pemerhati Sosial-politik
POS-KUPANG.COM - Pilkada, Pemilihan Kepala Daerah. Ceria sebelum dan sesudah tanggal Pilkada. Itu yang diharapkan oleh seluruh masyarakat Republik tercinta ini. Ceria. Ria. Gembira. Gegap gempita.
Apakah suasana ceria ini akan dirasakan oleh seluruh masyarakat Indonesia? Tidak. Kalau ada empat paslon, pasangan calon kepala daerah, satu paslon yang menang, mereka saja yang ceria.
Tiga kelompok yang lain, murung, kurung diri. Itu berarti, hanya seperempat atau dua puluh lima persen saja yang gembira, tujuh lima persen gigit jari.
Kalau ada lima paslon, maka jadinya, empat paslon yang lain, delapan puluh persen kecewa berat, minum kopi serasa duri. Dua puluh persen saja yang ceria. Judul opini ini, pilkada ceria, masih benar? Ceria sedikit, muram lebih banyak. Itu yang terjadi dan dianggap wajar.
Baca juga: Opini: Pemilihan Pemimpin yang Tepat untuk NTT
Perjuangan berbulan-bulan malah bertahun-tahun, hasilnya hanya dinikmati oleh segelintir orang sedangkan sebahagian besar anggota masyarakat cuma mengelus dada, hitung ruginya dan untungnya tidak ada. Inilah luka, sakit parah dalam alam demokrasi yang tidak cocok. Ibarat sepatu longgar untuk kaki yang kecil.
Lecet sana lecet sini. Sistem demokrasi dalam pemilihan langsung ini tidak cocok dengan keadaan kita di Indonesia saat ini.
Sistem pilkada ini ibarat lomba, tanding, adu kuat. Adu otak, adu pamor, adu duit, tinggal saja tidak adu tinju dan adu jotos. Pilkada model begini sebenarnya laku untuk masyarakat yang pendidikannya rata-rata di atas SMA dan taraf hidup ekonominya di atas garis kemiskinan.
Masyarakat seperti itu kaya informasi dan perutnya kenyang. Kalau masyarakat yang rata-rata tingkat pendidikannya di bawah SMA dan taraf ekonominya di bawah garis kemiskinan, jangan heran kalau mudah dibodohi dan gampang disogok dengan satu dua lembar duit ribuan.
Ini bukan hasil penelitian ilmiah berdasarkan wawancara sana-sini tetapi hanya berdasarkan pengamatan dan pengalaman. Cara itu pun sah dalam perumusan hasil ilmu-ilmu sosial politik.
Sistem pemilihan langsung untuk posisi di bidang legislatif dan eksekutif ini tidak cocok untuk masyarakat kita di Indonesia saat ini.
Tatanan sosial diobrak-abrik. Mulai dari tingkat RT (Rukun Tetangga) sampai ke tingkat nasional. Di tetangga mulai kurang rukun yang bisa merembes ke keluarga dan kerabat dekat dan jauh. Kekerabatan diobrak-abrik.
Sebagai contoh, pemilihan kepala desa. Misalnya desa itu ada enam dusun. Empat dusun menang, jagonya terpilih. Kepala desa terpilih ini menganak-emaskan empat dusun pemilihnya dan dua dusun yang tidak mendukung dirinya, dikemudiankan dalam pelayanan.
Selama masa pemerinthan kepala desa terpilih itu berlangsung, hasil demokrasi ini, masyarakat desa itu terpecah antara pendukung dan bukan pendukung. Kekerabatan tercabik.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.