Cerpen
Cerpen: Jejak Langkah Sang Reformis
Kota ini telah menjadi saksi bisu perjalanannya, dari seorang pemuda biasa hingga menjadi figur politik yang diperhitungkan.
“Kau baik-baik saja?” Merry bertanya lembut.
Lexi tersenyum lelah. “Ya, hanya banyak yang harus dipikirkan. Tekanan datang dari berbagai arah.”
Merry duduk di sampingnya, menggenggam tangannya erat.
“Aku tahu kau ingin membawa perubahan besar, tapi ingatlah, kau tidak bisa melakukan ini sendirian. Banyak orang di luar sana yang tidak ingin perubahan itu terjadi. Mereka akan mencoba menjatuhkanmu.”
Lexi terdiam, lalu berkata, “Aku tahu, Merry. Tapi jika aku menyerah, lalu siapa yang akan memperjuangkan mereka? Siapa yang akan memastikan pembangunan bendungan yang bersih? Siapa yang akan menegakkan keadilan bagi rakyat kecil?”
Merry memandangnya dengan mata penuh pengertian. “Hanya saja, jangan sampai kau kehilangan dirimu sendiri dalam proses ini. Kau bisa berubah menjadi seperti mereka jika kau tak berhati-hati.”
***
Keesokan harinya, Lexi duduk di ruang rapat partai, berdiskusi tentang sebuah Rancangan Undang-Undang baru yang kontroversial.
RUU ini, jika disahkan, akan memberi akses lebih besar kepada perusahaan-perusahaan tambang asing untuk mengeksploitasi wilayah-wilayah kaya mineral di Timor dan Sumba.
Dalam proposal itu, iming-iming investasi besar untuk membangun infrastruktur di NTT tampak begitu menggiurkan.
Namun, Lexi tahu bahwa ada harga yang harus dibayar harga yang terlalu mahal bagi lingkungan dan masyarakat lokal.
“Kita harus mendukung RUU ini, Lexi,” Melin menegaskan. “Investasi ini akan menciptakan ribuan lapangan kerja, dan kita bisa membangun jalan-jalan baru, pelabuhan, serta sekolah- sekolah di daerah terpencil. Ini adalah kesempatan emas untuk pembangunan NTT.”
“Tapi dengan harga apa?” Lexi membalas dengan nada tajam. “Eksploitasi besar-besaran tanpa memperhatikan lingkungan hanya akan meninggalkan kerusakan permanen. Rakyat kita hanya akan mendapat remah-remah, sementara keuntungan besar jatuh ke tangan perusahaan-perusahaan asing.”
Melin menggelengkan kepala. “Ini politik, Lexi. Kita harus realistis. Kadang kita harus memilih antara yang ideal dan yang memungkinkan.”
Lexi tahu, ini adalah momen penting dalam karier politiknya. Menolak RUU ini berarti melawan arus kuat dari para pemodal besar yang sudah mengakar di politik daerah. Namun, mendukungnya berarti mengkhianati prinsip yang selama ini ia pegang teguh.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.