Opini
Opini: Dilema Atakore, Pro dan Kontra Geothermal
Atakore tentu tidak seperti itu tetapi minimal motor, pikap dan bus penumpang bisa saja berdesakan masuk kampung dengan warisan budaya sangat tinggi.
Penolakan di Poco Leok dari 10 komunitas adat setahun yang lalu (27/09/2023) menandakan bahwa janji kesejahteraan bak durian runtuh, manis diucapkan tetapi sulit terbuktikan di lapangan.
Yang terjadi justru proyek geotermal membongkar kawasan hutan, mengubah fungsi lahan hingga menggusur pemukiman penduduk. Tidak hanya itu. Poco Leok yang dikelilingi bukit curam rawan terjadinya longsor dan banjir.
Kalau demikian maka apakah keberhasilan di Kamojang yang berjarak 2500 km dari Atakore bisa dipercaya akan terjadi juga di Atadei Lembata?
Bukankah kegagalan di PLTP Mataloko dan ancaman bahaya untuk PLTP Poco Leoklah yang justru akan terjadi?
Kita tentu tidak mengharapkan semuanya itu tetapi kecerdasan otak mestinya membuat kita berpikir sambil mengurangi napsu yang mudah tergiur.
Bukalah Pintumu
Mengaharapkan bahwa warga Atakore hidup sejahtera dari berkah energi panas bumi tentu sebuah impian menggiurkan. Tetapi yang tidak boleh dilupakan, desa seluas 1.300 km2, terdiri dari 4 Dusun dan 8 RT, serta memiliki jumlah penduduk sebanyak 701 jiwa itu punya sejarah menarik.
Atakore adalah kampung yang dibanding dengan tetangganya merupakan desa dengan paling banyak orang yang mengenyam pendidikan di Perguruan Tinggi.
Ada semacam upaya saling berlomba menguliahkan anak. Pada tahun 80-an, di Kupang sudah ada asrama Atakore menampung mahasiswa dari kampung yang sangat kompak ini. Terbaca adanya solidaritas dimana yang berhasil memfasilitasi yang lainnya.
Animo itu itu tidak terbangun dengan sendirinya. Ia disetting sejak dari kecil lewat petuah atau lagu yang mendorong kreativitas.
Penulis ingat ada sebuah lagu yang begitu nyaring dinyanyikan anak SDK Watuwaawer: “Bukalah pintumu, Sion, Bukalah pintumu, mari iringi rajamu, raja agung dan jaya….”
Lagu ini hanya populer di kampung yang selama ini memanfaatkan energi panas bumi untuk memasak makanan secara alamiah yang dikenal sebagai dapur alam.
Lagu ini bisa saja mengundang agar semua pihak membuka pintu hati. Pemerintah (yang direpresentasikan oleh aparat desa) mestinya tidak tergiur dengan PLTP yang katanya menyejahterakan masyarakat.
Faktanya, warga Atakore dari dulu bisa kuliah bukan dari menjual tanah dan ladang tetapi dari memeras tenaga dan menguras otak untuk bisa hidup.
Kini otak itulah yang harus diberdayakan dan bukan mengharapkan hidup dari berkah dari lahan yang dibeli.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.