Opini
Opini: Dilema Atakore, Pro dan Kontra Geothermal
Atakore tentu tidak seperti itu tetapi minimal motor, pikap dan bus penumpang bisa saja berdesakan masuk kampung dengan warisan budaya sangat tinggi.
Oleh Robert Bala
Diploma Resolusi Konflik Asia–Pasifik, Universidad Complutense de Madrid Spanyol
POS-KUPANG.COM - Seorang pembaca setia memberikan kritikan yang sedikit memojokkan penulis: “Pak Robert menulis banyak tema nasional malah internasional, tetapi kami belum melihat posisinya terkait Pusat Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Atakore.”
Rupanya belum puas juga memojokkan saya karena ia masih tambahkan: “mengapa selumbar di mata orang lain bisa dilihat tetapi balok di pelupuk mata dibiarkan menghalangi?”
Tetapi sesungguhnya dalam diam, data telah saya kumpulkan dan waktunya pas untuk mempublikasikannya.
Inilah Atakore, sebuah desa di Kecamatan Atadei, Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur dengan energi panas bumi yang tidak saja ditonton tetapi juga dimanfaatkan secara arif oleh masyarakat.
Energi ini akan dieksplorasi untuk menghasilkan 10 MW yang akan beroperasi pada 2027.
Banyak orang yang tentu saja pro oleh tersedianya energi hijau. Energi ini tidak saja untuk masyarakat Lembata tetapi juga kabupaten tetangga dengan biaya yang lebih terjangkau.
Kehidupan sosial-ekonomi masyarakat akan berubah. Wilayah dengan radius minimal 600-1000m dari titik pengeboran akan dihargai dengan jumlah yang tentu sedikit.
Kita lalu membayangkan, pola hidup masyarakat akan berbeda jauh hal mana mengingatkan kita akan berkah yang pernah diterima warga di Tuban, Jawa Timur tahun 2021.
Kampung yang dilewati tol mendapatkankan ganti untung dan berubah menjadi kampung milarder di 2021. Tahun itu ada 176 mobil baru yang dibeli warga desanya.
Mobil yang dibeli beragam, mulai dari Kijang Innova, Honda HRV, Pajero hingga Honda Jazz.
Atakore tentu tidak seperti itu tetapi minimal motor, pikap dan bus penumpang bisa saja berdesakan masuk kampung dengan warisan budaya sangat tinggi ini.
Kemakmuran juga bakal diterima desa. Tak heran aparat desa terutama yang telah diterbangkan untuk melihat bagaimana PLTP) Kamojang-Bandung sudah dibangun pemerintah Hindia Belanda tahun 1926.
Sebagai bonus, tim juga diayubahagiakan dengan menumpangi kereta cepat Woosh Bandung – Jakarta.
Bisa dibayangkan, masyarakat yang terbiasa melewati jalan sempit dengan kecepatan tertinggi 35 km / jam, kini duduk terheran-heran dengan kereta berkecapatan 350 km / jam.
Yang jadi pertanyaan, apakah iming-iming menggiurkan adalah riil? Apakah pengalaman di Kamojang yang sangat menggoda bakal dialami juga di Atakore dan Nubahaeraka?
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.