Opini
Opini: Standar Sosial Media, Sebuah Cermin yang Pengaruhi Preferensi Perilaku Remaja
Penggunaan sosial media didominasi oleh usia 18-34 tahun dengan persentase 54,1 persen dari total 191 juta pengguna.
Beberapa konten mungkin terlihat wajar, namun persoalannya terletak pada kesiapan mental, wisdom, daya kritis, dan pemahaman yang benar dalam menerima dan mengolah informasi yang didapat.
Beberapa konten justru tidak tepat sasaran bahkan diperuntukan untuk kalangan tertentu dengan latarbelakang sosial dan pendidikan tertentu.
Interaksi dengan sosial media dalam intensitas yang relatif sering dan tanpa pemahaman yang benar berdampak pada preferensi perilaku remaja dalam hal hubungan nilai interpersonal.
Norma-norma digital, seperti jumlah like dan follower, dapat memengaruhi persepsi remaja tentang popularitas dan nilai sosial.
Mereka mungkin merasa tertekan untuk mendapatkan pengakuan dan validasi di sosial media, yang dapat menyebabkan persaingan dan perbandingan yang tidak sehat. Hal ini dapat berujung pada rasa tidak aman, isolasi sosial, dan bahkan cyberbullying.
Standar sosial media yang tidak sehat juga mendorong remaja untuk melakukan perilaku berisiko. Konten yang dibagikan di sosial media, seperti video atau gambar yang menampilkan perilaku menyimpang, memberikan pengaruh negatif pada remaja, khususnya yang rentan terhadap pengaruh teman sebaya.
Hal-hal berbahaya yang dinormalisasi akan membawa remaja pada penyimpangan yang masif akibat kesadaran dan pemahaman yang tidak sempurna akan sesuatu (sosialisasi tidak sempurna).
Contoh: penggunaan kata kasar dan tidak sopan yang dianggap biasa di kalangan remaja akibat meniru apa yang diucapkan para influencer, promosi judi online dalam bentuk bujukan yang terselubung, normalisasi hubungan seksual yang tidak aman, ajakan merokok dan menikmati alkohol untuk mendapatkan pengakuan atau rasa diterima dalam kelompok sosialnya.
Selanjutnya, standar sosial media juga memengaruhi cara remaja dalam preferensi konsumsi.
Iklan dan promosi produk yang dijalankan di sosial media efektif memengaruhi pilihan mereka.
Standar sosial media yang menitikberatkan pada gaya hidup konsumtif dan materialistik mendorong remaja untuk membeli produk-produk tertentu, mengikuti tren terbaru, dan menunjukkan status sosial mereka melalui konsumsi.
Hal ini dapat menyebabkan perilaku konsumtif yang berlebihan sehingga berdampak negatif pada kondisi keuangan remaja dan mengarah pada sifat pamer (flexing).
Standar sosial media yang tidak realistis berdampak negatif pula pada perilaku dan pembentukan identitas remaja.
Mereka mulai membandingkan diri dengan orang lain, yang dapat memicu perasaan iri dan kecemburuan, serta mendorong perilaku agresif atau kompetitif yang tidak sehat.
Hal demikian terjadi ka rena remaja telah terpapar oleh konten-konten yang diedit dengan filter sehingga menciptakan persepsi sempit akan standar hidup versi dunia maya.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.