Opini
Opini: Sastra, Kapitalisme dan Globalisasi
Sastra mesti berjuang menciptakan sebuah budaya tandingan yang bertolak belakang dengan model kapitalisme.
Sampai pada titik ini, eksistensi sastra tergugat. Sastra mesti berjuang menciptakan sebuah budaya tandingan yang bertolak belakang dengan model kapitalisme.
Suara sastra mesti berbasiskan nilai-nilai moral dan kebenaran yang telah memudar itu. Karya sastra dapat mengangkat nilai-nilai luhur seperti kejujuran, kesetiaan, keberpihakan pada orang-orang kecil, sosio-sentrisme, persahabatan, bela rasa, altruisme, dan sebagainya.
Dengan itu, karya sastra dapat merealisasikan dua proyek kemanusiaan sekaligus: pendidikan karakter dan emansipasi manusia dari dekadensi moral akibat ekses buruk kapitalisme.
Sastra dan Globalisasi
Dalam aspek tertentu, globalisasi memang penting bagi Indonesia. Konstelasi dunia yang ditandai keterhubungan membutuhkan sikap terbuka terhadap kemungkinan-kemungkinan baru. Inilah yang mendasari keterbukaan Indonesia pada proyek globalisasi.
Indonesia saat ini bahkan menjadi salah satu ikon globalisasi dengan segudang prestasinya yang spektakuler di bidang pariwisata. Namun, keterbukaan seperti itu jangan sampai memudarkan identitas kebudayaan nasional.
Peran sastra berada dalam skema itu. Yang mesti diperjuangkan sastra adalah spirit kecintaan pada kebudayaan Nusantara.
Saya tidak bermaksud memproposalkan etnosentrisme total. Yang dimaksudkan ialah, bahwa sikap kompromistis terhadap kebudayaan luar jangan sampai membunuh identitas budaya kita sendiri.
Kebudayaan nasional Indonesia memiliki spiritualitas gotong royong, tolong menolong, semangat persatuan dalam perbedaan (Kebung, 2011: 257).
Itulah yang patut diangkat sastra. Insan Nusantara boleh terbuka sambil belajar pada nilai-nilai positif budaya luar. Pada tempat lain, kebudayaan nasional toh tidak benar secara total. Kebudayaan nasional juga tidak bersifat statis melainkan dinamis.
Dinamika kebudayaan nasional lahir dari konvergensi nilai-nilai kebudayaan asing dan nilai-nilai kebudayaan asli nusantara.
Namun, dalam relasi dwi-budaya semacam itu, tendensi untuk mendominasi dari pihak kebudayaan asing mesti disiasati. Oleh karena itu, sastra mesti mengantar para pembacanya untuk berakar pada kearifan budayanya agar tidak mudah tergerus dalam corak-corak hidup baru yang datang dari kebudayaan luar.
Karya sastra pada dasarnya sangat erat dengan realitas sosio-kultural.
Ia lahir dari konteks budaya masyarakat. Terhadap masyarakat yang mendorong kelahirannya, sebuah karya sastra mesti berkontribusi positif.
Mempertahankan dan mengembangkan nilai-nilai positif kebudayaan nusantara mesti menjadi proyek utama karya-karya sastra di masa mendatang.
Globalisasi akan terus mengepakkan sayapnya dan kapitalisme dengan aneka proyek-proyek ambisiusnya di sisi lain bakal terus merasuki ruang gerak kita.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.