Opini
Opini: 2 Uskup, 3 Pesan, 4 Aspek
Gereja Katolik Indonesia dan bangsa ini telah memperlihatkan kepada dunia tentang iman yang hidup, persaudaraan yang lintas batas.
Bapa Suci memuji Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika sebagai kekayaan bangsa Indonesia.
Oleh karena itu, sembari mengajak kita untuk terus masuk ke kedalaman pembelajaran dan pengalaman tentang hidup beriman, serentak memperkuat ikatan
persaudaraan lintas-batas, Sri Paus berpesan, “Jangan lelah bermimpi dan menjadi contoh hidup dalam kasih persaudaraan!”
4 Aspek Penting: Badan, Hati, Rumah, Tetangga
Menarik untuk menyimak sebulan pertama Mgr Budi dan 4 hari kunjungan Sri Paus. Mgr Budi tiba di Ende pada 10 Agustus 2024 dan disambut secara amat meriah, kendati Sang Yubilaris berkali-kali meminta rangkaian acara digelar sesederhana mungkin.
Dengan keramahannya, Mgr Budi menyapa semua orang, umatnya, dengan sapaan yang hangat, dengan jabatan tangan, dengan tepukan pada bahu dan lengan, dengan pelukan dan ciuman persahabatan. Dengan cinta dan hati yang penuh kasih.
“Saya sudah hadir di sini dengan badan dan hati saya untuk keuskupan agung Ende yang kita cintai bersama ini. Saya akan menetap di rumah keuskupan di Ndona ini. Saya adalah Bapa dan saudara bagimu,” demikian Mgr Budi dalam ibadat penerimaan.
Mgr Budi mengapresiasi penerimaan yang penuh kehangatan kasih dari saudara-saudari muslim di Ndona dan mengingat pesan Bapa Ismail Ibrahim, “tinggallah dengan hati yang tenang, lakukan dengan jiwa gembira dan penuh harapan”.
Maka, ketika mendengar ada kedukaan pada sebuah keluarga muslim di sekitaran kintal keuskupan, Mgr Budi langsung melayat. Banyak orang memujinya.
Bapa Uskup Budi malah melihat hal itu sebagai hal yang alamiah, sesuai kebiasaan, bahwa ketika tetangga meninggal, kita wajib hukumnya untuk melayat.
Begitu juga dengan kesan pertama kita pada Sri Paus yang tiba dengan pesawat komersial, menumpang minibus Innova, duduk di samping pengemudi, membuka kaca jendela, melambaikan tangan dan memberikan berkat kepada orang-orang yang menyapanya di pinggir jalan.
Teladan kesederhanaan kemudian juga muncul ketika Bapa Suci lebih memilih menginap di rumah kedutaan besar Vatikan di Jakarta daripada di hotel mewah berbintang lima.
Kata salah satu pelayannya, Bapa Suci hanya memilih satu-dua menu makan selama di Jakarta, padahal tuan rumah mampu menyediakan segalanya dari menu-menu Nusantara yang memang berlimpah ruah.
Karena, bagi Sri Paus, “membuang makanan dari kelimpahan dan sisa makan kita berarti mencuri hak makan si miskin”.
Tidak hanya itu, uskup agung Roma yang penyayang anak-anak ini mau menyentuh semua yang datang padanya, memberikan berkat pada dahi anak-anak dan orang yang mendekatinya.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.