Pilgub DKI Jakarta

Megawati Belum Mau Dukung Anies Baswedan: Kemarin Itu Dia di Mana?

Meski wacana makin kuat agar PDIP mendukung Anies Baswedan di Pilgub DKI Jakarta, namun tidak demikian dengan sikap politik partai banteng tersebut.

Editor: Frans Krowin
Tangkapan layar PDIP
DIA DIMANA – Megawati Soekarnoputri rupanya belum rela mendukung PDIP mendukung Anies Baswedan untuk maju di Pilgub DKI Jakarta tahun 2024 ini. 

POS-KUPANG.COM – Meski wacana demikian kuat agar PDIP segera menjatuhkan pilihan untuk mendukung Anies Baswedan di Pilgub DKI Jakarta, namun tidak demikian dengan sikap politik Partai Banteng Moncong Putih.

Melalui Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri, terungkap fakta bahwa Putri Bung Karno itu hingga saat ini tak mau mendukung Anies Baswedan. Ia pun melontarkan penyataan yang mengejutkan public negeri ini.

Pernyataan pedas Megawati Soekarnoputri itu diungkapkan pada momen mengumumkan 169 pasangan bakal calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang akan diusung pada Pilkada Serentak 2024 ini.

Pengumuman calon kepala daerah gelombang kedua tersebut, disampaikan Megawati pada pukul 13.00 WIB, Kamis 22 Agustus 2024.

Dalam pidatonya, Megawati Soekarnoputri sempat menyinggung soal isu dukungan partai berlambang banteng itu kepada Anies Baswedan di Pilgub Jakarta. 

Adapun hal tersebut sebagai bentuk reaksi lanjutan atas putusan MK yang membuka peluang PDIP mengusung calon tanpa koalisi.

Megawati sempat merasa heran dengan adanya sekelompok orang yang menamakan diri sebagai Satgas Hitam. Mereka mendorong Anies didukung PDIP. Dia lalu bertanya kepada Ketua DPP PDIP Komarudin Watubun.

"Eh enak aja ya ngapain gua suruh dukung Pak Anies. Dia bener nih kalau mau sama PDIP? Kalau mau sama PDIP jangan gitu dong. Mau gak nurut?" ujar Megawati di DPP PDIP Jalan Diponegoro, Menteng, Jakarta Pusat pada Kamis 22 Agustus 2024.

Presiden ke-5 RI itu menilai, tidak semudah itu mendapat dukungan dari PDIP. Megawati lalu mempertanyakan ke mana saja selama ini, baru muncul ketika butuh dukungan.

"Enak amat ya. Sekarang kita dicari dukungannya lalu kamu ke mana kemarin sore. Mbok jangan gitu dong," jelasnya.

Sebagai informasi, Eks Gubernur Jakarta periode 2017-2022 itu hanya memiliki harapan pada PDIP untuk bisa maju di Pilgub Jakarta. 

Namun, Anies bisa maju kalau PDIP mau mengusung.

Selain itu, Anies bisa maju bila KPU memilih menggunakan putusan MK sebagai dasar PKPU.

Apabila pakai revisi UU Pilkada yang disepakati Baleg DPR dan akan disahkan, Anies kembali pupus. 

DPR Dinilai Membangkang 

Dosen Hukum Tata Negara UIN Syarif Hidayatullah mengkritik langkah Badan Legislasi (Baleg) DPR RI atas revisi UU Pilkada. Bahkan DPR juga menyepakati untuk mengikuti putusan Mahkamah Agung (MA), bukan Mahkamah Konstitusi (MK) soal batas usia Cagub.

“Bukan hanya membangkangi putusan MK, revisi 7 jam atas UU Pilkada mengandung cacat materiil dan formil, karena rumusan syarat pencalonan ditafsir sesuai selera para vetokrat untuk kepentingan menguasai semua jalur dan saluran kandidasi Pilkada,” kata Ismail pada Kamis 22 Agustus 2024.

Menurutnya, langkah ini merupakan bentuk vetokrasi sebagian elit politik yang terlanjur nafsu menguasai seluruh ruang-ruang politik kontestasi Pilkada serentak 2024. Vetokrasi dalam konteks revisi UU Pilkada berbentuk kesepakatan elit yang memveto aspirasi publik dan kepemimpinan interpretasi konstitusi.

Di mana yang sebelumnya oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan 60/PUU-XXII/2024 berupaya menyelamatkan demokrasi dari hegemoni dan tirani mayoritas. Penetapan syarat bervariasi yang telah ditetapkan MK, ditafsir oleh DPR sebagai tidak berlaku bagi partai yang memperoleh kursi di DPRD.

“Akal-akalan tafsir juga diberlakukan terkait tafsir konstitusional genapnya usia 30 tahun bagi seorang calon gubernur/wakil gubernur, yang dihitung sejak pencalonan,” ucapnya.

Putusan MK, lanjut dia, seharusnya berlaku apa adanya ketika sudah dinyatakan berkekuatan hukum tetap, final, mengikat dan self executing. Kedudukan berlakunya Putusan MK adalah selayaknya berlakunya UU.

“Bentuk ketidakpatuhan DPR terhadap Putusan MK tersebut juga merupakan suatu pelanggaran hukum, yang selain menabrak tatanan konstitusional juga telah merobohkan prinsip checks and balances,” imbuhnya.

Kata dia, peragaan kehidupan demokrasi yang semakin rapuh, revisi kilat UU Pilkada untuk kepentingan elit dan pembangkangan putusan MK telah menjadi bukti, tidak adanya kepemimpinan dalam interpretasi konstitusi (constitutional leadership) meski Indonesia memiliki MK. Tidak ada badan lain yang paling berwenang dalam menafsir konstitusi kecuali MK yang memegang judicial supremacy dalam menegakkan supremasi konstitusi.

“Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi tidak lagi memegang supremasi judisial dalam menafsir konstitusi, karena pada akhirnya kehendak para vetokrat telah memenangkan kehendak segelintir elit yang tidak berpusat pada kepentingan rakyat,” jelasnya.

“Tanpa kepemimpinan konstitusi, sistem ketatanegaraan Indonesia akan semakin rapuh dan semakin menjauh dari mandat respublika, karena rakyat dan aspirasi rakyat bukan lagi menjadi sentrum perumusan legislasi dan kebijakan publik,” lanjutnya.

Dikutip dari Kompas.com, Panitia Kerja (Panja) revisi UU Pilkada Baleg DPR RI baru saja menolak menjalankan Putusan MK Nomor 70/PUU-XXII/2024 soal syarat usia minimum calon kepala daerah. Dalam putusan itu, MK menegaskan bahwa titik hitung usia minimal calon kepala daerah dihitung saat penetapan pasangan calon oleh KPU. Namun, Baleg DPR pilih mengikuti putusan kontroversial Mahkamah Agung (MA) yang dibuat hanya dalam tempo 3 hari, yakni titik hitung usia minimal calon kepala daerah dihitung sejak tanggal pelantikan.

Dalam jalannya rapat, Rabu (21/8/2024), keputusan ini juga diambil hanya dalam hitungan menit. Mayoritas fraksi, selain PDI-P, menganggap bahwa putusan MA dan MK sebagai dua opsi yang sama-sama bisa diambil salah satunya. Mereka menilai, DPR bebas mengambil putusan mana untuk diadopsi dalam revisi UU Pilkada sebagai pilihan politik masing-masing fraksi.

Fraksi PDI-P, diwakili Putra Nababan dan Arteria Dahlan, sempat melontarkan sejumlah argumentasi yang pada intinya menganggap bahwa Baleg DPR harusnya mematuhi putusan MK. Terlebih, putusan MK secara hirarkis dapat dianggap lebih tinggi karena menguji UU Pilkada terhadap UUD 1945, sedangkan putusan MA hanya menguji peraturan KPU terhadap UU Pilkada. Pemimpin rapat panja Baleg pagi tadi, Achmad Baidowi dari PPP, kemudian mengetuk palu tanda setuju bahwa pihaknya menolak putusan MK dan pilih manut putusan MA.

Baca juga: Partai Buruh Dukung Anies Baswedan, Ferri Nuzarli: Ini Aspirasi Akar Rumput

Baca juga: Jubir Anies Baswedan Gembira, Putusan MK Beri Angin Segar untuk Jakarta

Situasi ini menjadi angin segar untuk putra bungsu Presiden Joko Widodo Kaesang Pangarep yang mulai digadang-gadang maju Pilkada 2024. Seandainya menggunakan putusan MK, Kaesang tidak memenuhi syarat maju Pilkada 2024 karena masih berusia 29 tahun pada saat penetapan calon dilakukan KPU pada 22 September 2024 mendatang.

Sementara itu, dengan putusan MA, Kaesang bisa saja maju karena pelantikan kepala daerah terpilih hasil Pilkada 2024 hampir pasti dilakukan pada 2025, setelah ia berulang tahun ke-30 pada 25 Desember 2024 kelak. Adapun Kaesang telah dideklarasikan maju oleh Partai Nasdem pada Pilkada Jawa Tengah 2024 berpasangan dengan pensiunan Polri Ahmad Luthfi. (*)

Ikuti Pos-Kupang.Com di GOOGLE NEWS

Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved