Opini
Opini: KDRT, Dominasi Budaya Patriarki dan Kolaborasi Masyarakat
Di satu sisi KDRT merusak fisik dan mental korban, tetapi juga mengganggu stabilitas keluarga dan masyarakat di sisi yang lain.
Oleh: Ernestus Holivil
Dosen Administrasi Publik FISIP Undana Kupang
POS-KUPANG.COM - Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) di NTT bukanlah fenomena baru, namun menjadi sorotan yang kian mendesak. Di balik dinding rumah-rumah yang tampak tenang, seringkali tersembunyi luka dan penderitaan yang tak terlihat.
Di satu sisi KDRT merusak fisik dan mental korban, tetapi juga mengganggu stabilitas keluarga dan masyarakat di sisi yang lain.
Di Nusa Tenggara Timur (NTT), dimana norma-norma tradisional dan budaya patriarki masih kuat, masalah ini seringkali diabaikan atau dianggap sebagai masalah privat.
Padahal KDRT juga bisa menjadi masalah sosial yang membutuhkan perhatian kolektif dan tindakan nyata untuk menghentikannya.
Dominasi budaya patriarki dan ketidakadilan gender di NTT masih sangat kuat. Dalam struktur sosial tradisional, laki-laki seringkali dianggap sebagai kepala keluarga yang dominan, sementara perempuan ditempatkan pada posisi subordinat.
Paradigma ini memberikan laki-laki kekuasaan lebih besar dalam membuat keputusan, mengontrol sumber daya, dan menentukan peran sosial.
Dari sudut pandang feminisme, ini merupakan manifestasi dari kekuasaan yang tidak seimbang antara laki-laki dan perempuan, yang pada akhirnya menciptakan dan mempertahankan ketidaksetaraan gender.
Hak-hak perempuan di NTT seringkali dibatasi dalam berbagai bidang, seperti pendidikan, ekonomi, dan bahkan dalam ruang publik.
Di bidang pendidikan misalnya, masih ada komunitas dan kelurga yang lebih memilih mengirim anak laki-laki ke sekolah sementara anak perempuan dibiarkan tinggal di rumah untuk membantu pekerjaan domestik atau menikah di usia muda.
Hal ini tidak hanya membatasi kemampuan perempuan untuk mengembangkan diri, tetapi juga menghalangi akses mereka terhadap peluang karier di masa depan.
Demikian pun dalam bidang ekonomi, masih ada praktik diskriminasi, baik dalam hal akses terhadap pekerjaan maupun upah yang diterima.
Banyak perempuan yang terpaksa menerima pekerjaan dengan bayaran rendah atau berkerja disektor informal, yang pada akhirnya memperkuat siklus kemiskinan.
Ketika perempuan tidak dapat berkontribusi secara optimal terhadap perekonomian keluarga dan masyarakat, dampanya akan terasa luas, termasuk pada kesejahteraan generasi mendatang.
Selain ini, akibat kuatnya dominasi budaya partriarki ini, perempuan seringkali menghadapi batasan untuk berpartisipasi di ruang publik.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.