Opini

Opini: 63 Peti Mati untuk NTT

Dari total 63 PMI itu, jenazah PMI laki-laki sebanyak 48 orang dan perempuan 15 orang. Sedangkan jenazah PMI non prosedural 62 orang dan prosedural 1.

Editor: Dion DB Putra
ILUSTRASI
Balai Pelayanan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) merilis hingga 16 Juli 2024, sudah ada 63 pekerja migran Indonesia (PMI) asal NTT yang meninggal dunia. 

Terkait faktor kemiskinan, sepertinya ini jadi ironi bagi NTT. Pemerintah silih berganti. Setiap tahun, anggaran pembangunan untuk NTT triliunan rupiah. Belum lagi bantuan dari lembaga dan negara donor.

Itu berarti, dengan dana yang ada sebenarnya persoalan kemiskinan, pengangguran, ketiadaan lapangan kerja, upah yang rendah, pendidikan rendah bisa diatasi. Namun, mengapa ini masih sulit di NTT?

Malah saat ini kita dihadapkan pada sebuah ironi. Uang banyak mengalir ke NTT, tapi banyak orang NTT lebih suka mencari uang di negeri orang.

Setiap tahun triliunan dana pembangunan dialokasikan ke NTT. Itu yang ada dalam APBD. Uang yang mengalir ke NTT pun datang dari donor agencies atau bantuan luar negeri.

Ada banyak lembaga donor atau NGO internasional yang bekerja di NTT. Musuh bersama hanya satu yakni kemiskinan NTT. Tapi kok, kemiskinannya makin awet?

Moratorium Gagal

Di NTT ini pernah ada narasi moratorium pengiriman pekerja migran ke luar negeri. Namun, itu kurang berefek, malah migrasinya pekerja migran ilegal semakin marak.

Para calo bergentayangan dari kampung ke kampung, para agen terus mendapatkan dana segar. Oknum-oknum penguasa dan penegak hukum malah pasang badan jadi backing para bandar jual beli pekerjas migran itu.

Ketika terjadi kasus, yang diproses itu calo-calo kecil. Sementara bandar kakap malah sibuk mengkalkulasi keuntungan dari bisnis gelap perdagangan orang atau pekerja migran ilegal ini.

Lalu, apa yang seharusnya dilakukan di NTT untuk mengatasi persoalan ini? Ada dua formula plus bonus.

Pertama, NTT harus sungguh-sungguh mengimplementasikan Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2001, tentang pembentukan Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang, melalui peraturan gubernur, peraturan bupati dan peraturan wali kota.

Gugus Tugas ini harus melibatkan semua pihak yang terlibat. Sehingga tidak lagi terjadi peluang bagi mafioso human trafficking untuk menjadikan NTT sebagai daerah operasi mereka. Kelemahannya, ego sektoral itu sangat tinggi di NTT. Sulit bekerja sama lintas sektor.

Gugus tugas terbentuk, tetapi tugas urus masing-masing sektor. Ini repot.

Kedua, rebranding PMI NTT dengan perbaikan kompetensi dan kapasitas, sesuai syarat yang ada dalam UU 18/2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia.

Upaya ini ditempuh dengan dua langkah, yaitu penyediaan Balai Latihan Kerja (BLK) dan pembukaan Layanan Terpadu Satu Atap (LTSA) di setiap kabupaten/kota di NTT.

Halaman
123
Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved