Opini

Opini: Turbulensi Politik dan Hegemoni Republikanisme Pasca-Pemilu

Ataukah yang terjadi adalah vote minus voice, karena pemilu sekadar instrumen oleh elite politik untuk menuai legitimasi dari rakyat?

Editor: Dion DB Putra
POS-KUPANG.COM/HO
Ilusrasi. 

Dinamika demikian menandakan demokrasi yang telah dibangun lebih dari dua dekade, kini berada di tepian totalitarianisme.

Meski keadaan demokrasi dan perpolitikan tengah berada di ujung tanduk, sepatutnya kondisi ini dijadikan trigger, pemicu, dan pendobrak bagi seluruh kekuatan demokrasi yang tersisa untuk menjalankan fungsinya sebagai aktor-aktor yang mampu menjadi pelita dan melakukan pencerahan.

Melalui Homo Saccer (2020), Agamben memandang kedaruratan demokrasi dengan rasionalisasi politis-yuridis dan rasionalitas manajerial-administratif dalam kekuasaan berdaulat, sehingga dalam praktiknya dapat membuat kehendak bersama (the general will) dan juga hak konstitusional rakyat (legislative capacity) menjadi tak terpisahkan.

Robertus Robert dalam Republikanisme (2021), memperjelas bahwa “Res-Publica” adalah suatu wahana tindakan yang di mana manusia menunjukkan eskistensial atau mengekspresikan dirinya secara deliberative.

Individu konkret sebagai subjek harus diposisikan secara filosofis setidaknya supaya pengertian ideologi bisa dioperasionalkan. Jika subjek terhapus, maka The Ideological Subject kehilangan marwahnya.

Singkatnya, antara subjek dan ideologi terbangun hubungan fungsional yang timbal balik. Politik jadi kehilangan segi politiknya.

Sebagaimana keyakinan Aristoteles akan pentingnya republik yang faktual dan kuat menjadi rujukan akhir sebagai tujuan dari politik.

Dikarenakan dengan ideologi yang kuat, meyakini begitu pentingnya warga yang terdidik dan jiwa revolusioner sebagai fondasi dari republik.

Kuatnya tuntutan demokratisasi dan maraknya diskursus akhir-akhir ini dengan anggapan bahwa demokrasi perlu diperkuat guna menjamin keteraturan publik sekaligus mendorong transformasi ke arah pembentukan struktur sosial, politik, ekonomi dan kebudayaan yang lebih ideal dan matang, di bawah payung institusi pemerintah yang bersih, bebas KKN sebab yang demokratis semakin diyakini dapat menjadi model tatanan yang realistik dan diharapkan bisa mencegah lahirnya pemerintahan yang represif dan dominatif pasca rezim Jokowi.

Robert Dahl (2001) menyebutnya upaya mencegah gila kebesaran, kelainan jiwa, kepentingan pribadi sesuai emosi kata hati, mengeskploitasi kemampuan negara dan kekerasan untuk mencapai tujuan pribadi mereka—oligarki. (*)

Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved