Breaking News

Opini

Opini: Turbulensi Politik dan Hegemoni Republikanisme Pasca-Pemilu

Ataukah yang terjadi adalah vote minus voice, karena pemilu sekadar instrumen oleh elite politik untuk menuai legitimasi dari rakyat?

Editor: Dion DB Putra
POS-KUPANG.COM/HO
Ilusrasi. 

Alhasil, rakyat kemudian dipaksa mengamini hasil pemilu dengan berbagai “prosedur legal” tapi tidak legitimate. Dikarenakan prosesnya secara terang-terangan telah menabrak berbagai aturan, etika, dan kepatutan berdemokrasi.

Bahkan, menghalalkan segala cara melalui politik Bansos yang bersumber dari APBN, mobilisasi aparatur TNI, Polri dan ASN untuk memenangkan pasangan Capres-Cawapres Prabowo-Gibran.

Pemilu sekadar ajang konsolidasi melanggengkan penguasaan atas sumber daya alam yang menjadi hajat hidup rakyat. Jadi tidak sulit mengatakan, jika pemilu 14 Februari kemarin, merupakan pemilu paling brutal pasca-reformasi.

Di sisi lain, barangkali dapat kita terangkan peta politik hari ini berdasarkan teori Jacques Ranciere, yang diuraikan dalam La Mesentente (1995) kemudian disarikan Slavoj Zizek dalam “Afterword” buku Jacques Ranciere, The Politics of Aesthetics (2006).

Pertama Ranciere menyebut “archi-politics”, yaitu politik komunitarian yang mengorganisasi kebudayaan secara organis dan homogen, sehingga tak ada ruang sosial lagi bagi perjuangan politik tandingan.

Kedua, “para-politics”, merupakan politik yang justru didepolitisasi melalui pelembagaan dengan maksud menidurkan potensi konflik. Inilah politik regularisasi yang meredam kondisi historis dari politik, yaitu antagonisme perjuangan ideologis.

Ketiga, ”meta-politics”, yaitu politik yang ”kebenarannya” diterangkan dari luar dirinya, misalnya dari kondisi infrastruktur ekonomi, seperti pada marxisme.

Keempat, ultra-politics, adalah politik di bawah kekuatan militer, dengan alasan menyelesaikan konflik politik, menciptakan stabilitas, oleh karena itu sentralisasi dipakai merumuskan dan memusnahkan musuh politik.

Apologi

Bahwa benar demokrasi lahir dari keadaan darurat, itu tak terbantahkan. Dalam beberapa kasus, demokrasi merupakan anak kandung revolusi dan reformasi.

Dengan alasan keadaan darurat, tatanan lama diruntuhkan, konstitusi ditangguhkan, kekerasan dibenarkan guna membentuk suatu tatanan baru, katakanlah tatanan demokrasi (Agus Sudibyo;2019).

Oleh karena itu, harapannya setelah revolusi atau reformasi, kekuasaan secara konsekuen harus dijalankan berdasarkan prinsip demokrasi; distribusi kekuasaan, check and balancing, supremasi hukum, dan kesetaraan-keadilan bagi semua warga negara tanpa kecuali—rule of law.

Namun di era reformasi, Indonesia telah melewati enam kali tahapan pemilu. Seyogianya kualitas demokrasi lebih bermartabat, berintegritas, dan berdiri tegak di atas etika ideologis.

Bukan sebaliknya, rakyat diberi asupan demagogi untuk bersekongkol merapuhkan pilar-pilar bernegara dan political ethics. Sebagaimana kondisi sekarang, komitmen reformasi terancam erosi, dan tak dapat dipungkiri jika demokrasi Indonesia dikategorikan flawed democracies (demokrasi cacat).

Bahkan situasi untuk kembali ke Orde Baru sangat mungkin terjadi. Lantaran pengaruh oligarki tak kunjung surut setelah Soeharto tumbang, melainkan sekadar berkamuflase dengan realitas politik yang ada.

Halaman
1234
Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved