Cerpen

Cerpen: Perempuan Buku Reborn

Kembali ke Jakarta setelah hampir satu dekade menjauh bagai dream comes true. Semua berubah. Penampilan berubah. Pergaulannya lebih selektif.

|
Editor: Dion DB Putra
fizkes
Ilustrasi. 

Dalam suasana penuh canda tawa sesekali Alkemis menggoda dengan mencoba membuka cerita masa-masa indah dahulu, tentang pertemuan yang tidak sengaja. Penerbangan yang lama karena sama-sama pemegang kartu langganan.

Atau sekedar cerita tentang bagaimana buku menjadi penyatu karena memiliki hobi yang sama suka membaca, secara halus Aurora selalu mengalihkan.

Dia lebih suka omongin tentang kerjaannya sekaligus mimpi-mimpinya untuk menata diri karena terlalu lama tinggalkan Jakarta.

Sikap cuek yang dulu suka bikin Alkemis gemes karena sering distrack dengan membuka handphone disaat berduaan kembali lagi.

Alkemis berusaha maklum dan ga berani ngelarang seperti dulu, toh perempuan yang mboys ini pribadi yang tidak suka diatur apalagi keduanya sudah lama ga jumpa.

Alkemis merasa Aurora sudah berubah dari yang dia kenal dulu. Bisa jadi kekasih yang dulunya bucin sudah mendapatkan tambatan hati yang lebih ngerti dirinya.

Sifat yang biasanya nrimo sudah tidak ada lagi. Perempuan cerdas dengan wawasan yang luas ini kini tidak percaya lagi dengan idealisme yang katanya tidak ada manfaatnya.

“Sekarang semua orang berburu kesempatan persetan dengan cara dan proses. Selama bisa memberi keuntungan lakukan saja. Kalau ada aturan yang harus dilanggar kita cari jalan. Nanti belakangan baru kita urus. Obat penyembuh semua masalah saat ini cuma satu yakni uang. Apapun dilakukan selama bisa menghasilkan cuan.”

Ternyata benar juga pemikiran pujangga Italia Niccolo Machiavelli bahwa untuk berkuasa semua cara bisa dilakukan. Meskipun penampilan dan pemikirannya mengikuti jaman namun tekadnya tetap sama yakni Jakarta harus ditaklukkan.

Bagi Aurora tidak mau lagi merawat rasa suka yang absurd. Katanya lagi bullshit dengan semua cerita tentang kemesraan.

***

Untuk mencairkan suasana serius Akemis mulai bercanda, “Omong-omong kamu masih suka baca buku? Kan abang kenal kamu dulu kemana-mana selaku bawa buku. Ingat waktu jumpa dulu kamu bangga dengan sebutan Perempuan Buku. Bahkan abang pernah dipinjamin novel Cantik Itu Luka karangan Eka Kurniawan. Meskipun abang sudah lebih dulu membaca pas terbit karena penulisnya alumni satu kampus cuma beda fakultas"

"Jadi waktu itu kamu boongin aku dong pura-pura belum baca he he he. Oh ya kemarin pas di Singapura aku sempat juga ke library dan membaca beberapa buku. Jujur fokus aku sekarang mau belajar berusaha sendiri. Aku mau tunjukan ke bos meskipun tetap tidak bisa tinggalkan dirinya namun tidak mau menjadi orang gajian. Kepercayaan bos harus aku jaga. Abang tahu sendirikan susah lho orang bisa dipercaya bos"

Tanpa disadari waktu berlalu begitu cepat. Aurora memandang Alkemis sambil bersenyum manja. Sementara jemarinya asyik menyobek gorengan untuk dicicipi.
Momen-momen dimana ketika berkenalan kembali hadir. Terbayang pertemuan di Bandara Eltari lalu dalam penerbangan yang sama ke Lembata dan secara kebetulan duduk berdampingan.

Begitu juga waktu terbang yang lama karena menggunakan tiket terbang murah selama setahun dengan salah satu maskapai untuk bepergian ke berbagai kota di Indonesia.

Di Jakarta pun sama, mereka habiskan malam di rooftop hotel dengan arsitektur klasik yang sengaja ditanami banyak pohon dengan jaraknya tidak jauh dari Monas.

Jam menunjukkan pukul lima sore terlihat ekspresi Aurora yang ingin akhiri perjumpaan. Dia memasukan semua barang bawaan ke tas yang baru dibelinya di Singapura, memastikan tidak ada yang tertinggal, sekali lagi membuka handphone. "Ada apa lagi bang? Makasih ya bang kita bisa ngopi berdua."

Alkemis pun maklum perjumpaan harus diakhiri. Setelah basa-basi ngobrol situasi politik terkini, Aurora lalu minta pamit. "Bang aku mau jalan dulu ya. Ga enak kalau sampe gelap."

Alkemis mengangguk setuju tanpa ada upaya untuk menahan lebih lama. Sadar dirinya bukan lagi orang yang bisa membuat Aurora berlama-lama seperti dulu. Menekan bel yang ada di meja lalu meminta pelayan mengantarkan tagihan.
Keduanya pun turun dari lantai dua menuju kasir. Sebelum berpisah Aurora membiarkan Alkemis memeluknya erat sambil berbisik, "Semoga ini tidak menjadi perjumpaan terakhirnya. Maafkan karena salahku membuat kamu berubah. Kamu pasti kesal. Kalau ada waktu kita bisa jumpa lagi ya.

***

Mengantar Aurora keluar pintu kafe menuju tempat parkir lalu Alkemis masuk kembali dan memesan segelas americano panas untuk menemaninya menghabiskan beberapa batang sigaret. Dalam kesendirian ditulis lagi rasa yang tak sempat terucap.

Perasaan kecewa, menyesal dan merasa kehilangan campur aduk. Pupus sudah harapan Alkemis untuk kembali seperti dulu. Aurora tidak kembali lagi. Jangan-jangan ini akan menjadi pertemuan terakhir sebagai sepasang kekasih.

"Aurora, makasih ya masih ada waktu untuk kita jumpa. Kamu pasti merasa tidak penting lagi kita jumpa hanya buang-buang waktu sementara tidak jadi istimewa buat kamu. Aku merasa dipertemuan tadi kalau kamu telah move on. Aku tertinggal jauh di belakang. Jujur aku sedih. Aku merasa kehilangan. Aku harap kita bisa jumpa lagi saat kamu ada waktu. Makasih ya."

Setelah lama menunggu dan belum ada balasan lebih dari sejam Alkemis pun memilih pulang. Dalam perjalanan yang macet sambil mendengarkan alunan lagu Kenanglah Aku dari Naff tiba-tiba masukan balasan chat singkat dari Aurora.

"Boleh Bang kalo waktunya pas. Jangan sedih ya."

Jakarta, 31 Mei 2024

Catatan Redaksi

Pos Kupang membuka kesempatan seluas-luasnya bagi para penulis cerita pendek atau cerpen. Silakan kirim naskah karya Anda dengan kata kunci "cerpen" melalui email kupang.poskupang@gmail.com. Terima kasih.

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved