Opini
Opini: Oposisi dalam Pseudo Demokrasi Indonesia
Tanpa oposisi, tidak ada demokrasi, demikian pun sebaliknya, tanpa posisi, demokrasi pun hanyalah khayalan.
Ini adalah sebuah paradoks yang memalukan dan menjijikan dalam sebuah demokrasi sekaligus menegaskan bahwa Indonesia adalah contoh par excellent dari fenomena ketika mekanisme demokrasi dan eksistensi oligarki atau elitisme dapat saling mengisi atau hidup berdampingan pada saat bersamaan.
Sementara itu, khusus dalam soal hubungan eksekutif dan legislatif, pola yang terbangun juga belum menunjukkan sebentuk demokrasi yang solid, mengingat kelompok oposisi juga sering disandra oleh berbagai macam ketidakbersihan politiknya.
Adanya oposisi akan membuat pemerintah yang berkuasa “terjaga” dan menyadari ada pihak lain yang bisa saja memberikan tawaran kebijakan yang lebih baik dan pada gilirannya berpotensi “mengganggu” citra positif pemerintah di mata masyarakat. Dalam situasi ini, muncullah situasi kompetisi yang sehat antara pemerintah dan oposisi menuju perbaikan demi perbaikan (F. Noor, 2016).
Pseudo Demokrasi
Indonesia pasca orde baru, orde otoriteritarianisme dengan rezim pemangsanya, hidup dalam Pseudo demokrasi atau demokrasi palsu.
Kepalsuan ini kita lihat dengan telanjang di depan mata kita, diparadekan dengan tanpa malu oleh para politisi karbitan dan pragmatis, yang melihat peta politik sebagai ajang dagang sapi.
Rasionalitas demokrasi yang mensyaratkan adanya perjuangan bersama untuk kepentingan bersama, disandra oleh para oligarkis yang bermain di belakang layar. Para politisi kita pun dengan tau dan mau mengais keuntungan dan kemewahan di balik panggung yang diciptakan oleh para pemodal yang juga melihat arena politik sebagai lahan investasi. Demokrasi yang sesungguhnya menjadi utopia.
Pseudo Demokrasi adalah demokrasi abal-abal, demokrasi hanya sebatas slogan dan casing.
Pseudo Demokrasi adalah demokrasi yang hanya dilakukan secara formil saja, namun essensinya bukan demokrasi, karena telah terkontaminasi dengan modal dan kepentingan oligarki yang mengotori suara rakyat.
Pada gilirannya demokrasi semacam ini akan melahirkan sebuah kakistokrasi, yakni sebuah pemerintahan yang buruk yang tidak berorientasi pada kepentingan masyarakat namun hanya menginginkan kesejahteraan oligarki penguasa sebuah Negara (Azizah & Risma, 2021).
Inilah wajah demokrasi kita sekarang ini. Wajah yang penuh kepalsuan, wajah yang penuh kemunafikan, wajah yang penuh dengan dosa terhadap jeritan dan teriakan rakyat banyak.
Hemat saya, pseudo demokrasi ini tidak hadir, bukan hanya karena kurangnya pengetahuan para politisi kita akan apa itu demokrasi yang didukung oleh sebagian besar rakyat kita yang belum melek politik, tetapi yang paling mendasar juga adalah karena kealpaan moral dalam politik.
Sesungguhnya politik dan moral adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan karena dalam arti yang paling primordial, politik itu ada dan hadir untuk memastikan terjaganya moralitas.
Originalitas politik yang demikian ini seringkali terpenjara oleh pragmatism politik yang melihat politik sebatas urusan kekuasaan. Indonesia saat ini butuh gerakan moral politik untuk mengusung keluhuran demokrasi ke garda terdepan. (*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.