Opini

Opini: Oposisi dalam Pseudo Demokrasi Indonesia

Tanpa oposisi, tidak ada demokrasi, demikian pun sebaliknya, tanpa posisi, demokrasi pun hanyalah khayalan.

Editor: Dion DB Putra
TRIBUNNEWS/DANY PERMANA
Ilustrasi. 

Oleh Dony Kleden
Antropolog dan Pemerhati Masalah Politik dari Universitas Katolik Weetebula, Sumba Barat Daya

POS-KUPANG.COM - “Everyone whose basic interests are affected by institutions or practices should be able to participate in their governance on more or less equal terms with others. Everyone ought to be able to assert their opposition to decisions that have been made, furthermore, and should be free to criticize and try to change policies and practices.”(Young, 2022).

Irish Young (1949-2006), dari kutipan di atas, sesunggunya mau menyentil kesadaran dan penngetahuan kita tentang seperti apa negara yang demokratis itu.

Bagi Young, titik tolak dari hadirnya sebuah negara yang demokratis adalah keterlibatan semakin banyak orang dalam berandil dengan berbagai cara, dan tugas pemerintah adalah meruangkan kebebasan untuk menghadirkan semakin banyak orang dalam berpartisipasi, khususnya kelompok oposisi.

Dengan demikian antara oposisi dan posisi (pemerintah), statusnya sama-sama mulia karena dilahirkan dari rahim yang sama yakni demokrasi. Tanpa oposisi, tidak ada demokrasi, demikian pun sebaliknya, tanpa posisi, demokrasi pun hanyalah khayalan.

Oposisi Disandera

Young yang adalah seorang pemikir politik dan feminis dari Amerika ini menyadari betul bahwa, demokrasi hanya akan sekedar menjadi slogan kalau oposisi tidak diberi ruang yang lapang, atau malah diperkecil jumlah kelompoknya dan dipersempit ruang geraknya.

Demokrasi sesungguhnya bukanlah sekadar elction lima tahunan. Pemahaman tentang apa itu demokrasi harus melampui kepentingan sempit yang demikian ini, seolah-olah demokrasi itu hadir untuk member legasi pada sebuah kekuasaan.

Dalam demokrasi, keberadaan partisipasi dan koreksi, dari oposisi dan masyarakat luas terhadap pemerintahan jauh lebih utama ketimbang pemilu.

Dasarnya adalah, pemerintahan itu ada untuk kesejahteraan bersama.
Demokrasi tidak boleh dipahami sebagai kendaraan politik untuk merebut posisi kekuasaan.

Demokrasi yang sesungguhnya terletak pada nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Ini yang seringkali kita lupa, termasuk para politisi kita.

Demokrasi adalah sebuah sistem yang dalam praktiknya ditujukan untuk menghadirkan nilai persamaan, kesejahteraan, partisipasi, kebebasan, toleransi, keadilan, hak-hak universal, dan kesepakatan banyak orang, organisasi dan kebebasan.

Dalam konteks ini maka, hadirnya oposisi dalam demokrasi adalah untuk memastikan bahwa semua nilai itu tidak ada yang terabaikan. Suara oposisi ditujukan untuk membuat pemerintah tetap terjaga untuk memperjuangkan terwujudnya nilai-nilai itu.

Posisi luhur oposisi yang demikian ini tidak tumbuh dalam demokrasi kita di Indonesia. Bukan hal yang baru lagi apalagi dianggap tabu, bahwa dalam sejarah demokrasi kita, pasca pertarungan politik election keras, yang sebelumnya saling pukul untuk mencari suara, pada akhirnya saling rangkul untuk membagi kue kekuasaan.

Dan kini kita lihat lagi, para ketua partai politk yang kalah dalam pertarungan pilpres kemarin, ramai-ramai mencari suaka di pemenang pemilu untuk memastikan keamanannya.

Ini adalah sebuah paradoks yang memalukan dan menjijikan dalam sebuah demokrasi sekaligus menegaskan bahwa Indonesia adalah contoh par excellent dari fenomena ketika mekanisme demokrasi dan eksistensi oligarki atau elitisme dapat saling mengisi atau hidup berdampingan pada saat bersamaan.

Sementara itu, khusus dalam soal hubungan eksekutif dan legislatif, pola yang terbangun juga belum menunjukkan sebentuk demokrasi yang solid, mengingat kelompok oposisi juga sering disandra oleh berbagai macam ketidakbersihan politiknya.

Adanya oposisi akan membuat pemerintah yang berkuasa “terjaga” dan menyadari ada pihak lain yang bisa saja memberikan tawaran kebijakan yang lebih baik dan pada gilirannya berpotensi “mengganggu” citra positif pemerintah di mata masyarakat. Dalam situasi ini, muncullah situasi kompetisi yang sehat antara pemerintah dan oposisi menuju perbaikan demi perbaikan (F. Noor, 2016).

Pseudo Demokrasi

Indonesia pasca orde baru, orde otoriteritarianisme dengan rezim pemangsanya, hidup dalam Pseudo demokrasi atau demokrasi palsu.

Kepalsuan ini kita lihat dengan telanjang di depan mata kita, diparadekan dengan tanpa malu oleh para politisi karbitan dan pragmatis, yang melihat peta politik sebagai ajang dagang sapi.

Rasionalitas demokrasi yang mensyaratkan adanya perjuangan bersama untuk kepentingan bersama, disandra oleh para oligarkis yang bermain di belakang layar. Para politisi kita pun dengan tau dan mau mengais keuntungan dan kemewahan di balik panggung yang diciptakan oleh para pemodal yang juga melihat arena politik sebagai lahan investasi. Demokrasi yang sesungguhnya menjadi utopia.

Pseudo Demokrasi adalah demokrasi abal-abal, demokrasi hanya sebatas slogan dan casing.

Pseudo Demokrasi adalah demokrasi yang hanya dilakukan secara formil saja, namun essensinya bukan demokrasi, karena telah terkontaminasi dengan modal dan kepentingan oligarki yang mengotori suara rakyat.

Pada gilirannya demokrasi semacam ini akan melahirkan sebuah kakistokrasi, yakni sebuah pemerintahan yang buruk yang tidak berorientasi pada kepentingan masyarakat namun hanya menginginkan kesejahteraan oligarki penguasa sebuah Negara (Azizah & Risma, 2021).

Inilah wajah demokrasi kita sekarang ini. Wajah yang penuh kepalsuan, wajah yang penuh kemunafikan, wajah yang penuh dengan dosa terhadap jeritan dan teriakan rakyat banyak.

Hemat saya, pseudo demokrasi ini tidak hadir, bukan hanya karena kurangnya pengetahuan para politisi kita akan apa itu demokrasi yang didukung oleh sebagian besar rakyat kita yang belum melek politik, tetapi yang paling mendasar juga adalah karena kealpaan moral dalam politik.

Sesungguhnya politik dan moral adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan karena dalam arti yang paling primordial, politik itu ada dan hadir untuk memastikan terjaganya moralitas.

Originalitas politik yang demikian ini seringkali terpenjara oleh pragmatism politik yang melihat politik sebatas urusan kekuasaan. Indonesia saat ini butuh gerakan moral politik untuk mengusung keluhuran demokrasi ke garda terdepan. (*)

Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved