Opini
Opini: Tidak Tahu Diri
Ini sebuah pengakuan, tanpa menjunjung tinggi etika dan keugaharian, niscaya seorang yang ‘bukan orang’ bisa jadi ‘orang’.
Komitmen ini tetap dijaga oleh pria kelahiran Jerman 26 Mei 1936. Selama hampir 9 tahun masa Jokowi, Magnis Suseno terus mengingatkan.
Tetapi semua kritikan diungkapkan dalam bahasa yang halus dengan argumentasi yang kuat dan terukur. Hal itu tentu bukan karena Magnis Suseno telah menjadi ‘jinak’ tetapi justru karena Jokowi (kelihatannya) hadir sebagai negarawan terbaik. Semuanya belum cukup ketika catatan pencapaian pembangunan sangat kuat dan terasa.
Semuanya berubah ketika ruang etika yang menjadi ‘bidang Magnis Suseno’ terbukti tercederai. Hasil Keputusan Majelis Kehormatan MK secara tegas memutuskan bahwa telah terjadi pelanggaran etika berat dalam putusan 90/PUU-XXI/2023 menjadi penguat bahwa teriakan prof Magnis tidak keliru malah diberi pijakan hukum yang kuat.
Di sini siapapun tetapi terutama pakar etika seperti Magnis Suseso yang pasti merasa lebih kompeten untuk mengklarifikasi di depan umum tentang bahaya pelanggaran itu.
Di sini bukan soal tata krama yang sebatas pada moralitas belaka untuk harus bersikap adab dengan kesopanan lahiriah. Karena itu ia harus bangun, berdiri paling depan dengan bahaya bakal dihujat.
Ia pasti dicemooh karena oleh pandangan umum, rohaniwan seperti Magnis Susesno harus tempatnya di altar untuk mengurus ritus sementara urusan duniawi penuh trik dan intrik diserahkan kepada ‘yang berhak’.
Persoalannya, apakah politik dan etika merupakan dua dunia berbeda? Apakah politik bisa lepas dari etika dan etika sekadar dibicarkaan tetapi tidak perlu ditegakkan ketika masuk dalam praktik yang tidak kasat mata?
Apakah agama hanya sebatas berbicara tentang relasi vertikal dengan Tuhan dan ingkar pada relasi horizontal antarsesama manusia?
Jawabannya tentu saja tidak. Politik perlu dilaksanakan secara profesional tetapi ia memiliki batasdan rambu-rambunya karena tujuan terjauh adalah kesejahteraan umum.
Pada sisi lain, pemuka agama perlu menghargai kewenangan pejabat politik tetapi tentu saja diharapkan agar aneka proses dijalankan dengan mengutamakan kejujuran dan profesionalisme. Itu artinya ketika semuanya berjalan apa adanya, masing-masing harus saling menghormati.
Tetapi ketika etika dikangkangi maka kaum rohaniwan harus berdiri dan mengklaim karena ruang etika yang menjadi tanggungjawabnya telah dimasuki. Mereka harus berteriak dan itulah yang dilakukan Romo Magnis.
Tetapi apakah seruan etis dan perjuangan penegakkan etika harus diwujudkan dengan cara apapun? Sebagai perjuangan memang perlu dilakukan tetapi tidak dalam arti pemaksaan.
Pelanggaran etika tidak sama dengan pelanggaran hukum yang harus dihukum penjara. Tidak.
Seruan etika hanya sebatas mengingatkan. Kalaupun ada sanksi hanya bersifat moral yang hanya mengingatkan bahwa kekuasaan bersifat terbatas dan cepat akan lambat akan disadari, demikian Kardinal Ignas Suharyo ingatkan tentang raja-raja masa lampau yang bila tidak dijalankan dengan baik akan jatuh. Di sana tidak ada keharusan.
Dalam arti ini, tampil di depan untuk memperjuangkan nilai-nilai etika adalah sebuah keharusan dan hal yang dilakukan Romo Magnis Suseno, SJ, patut dijempoli.
Opini: Seni Berkarakter di Ujung Tanduk, Bakat Muda NTT Tenggelam dalam Arus Globalisasi |
![]() |
---|
Opini: Jebakan Passing Grade ASN, Bom yang Siap Meledak di Jantung Birokrasi Negeri |
![]() |
---|
Opini - Literasi Sains dan Kesadaran Isu Lingkungan di Kalangan Anak Muda |
![]() |
---|
Opini: Makin Merah Kerokan, Makin Parah Masuk Angin? |
![]() |
---|
Opini: Budayakan Literasi Baca Tulis dalam Keluarga |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.