Opini
Opini: Magun Anton Tifaona
Pada masa pensiun, ia hidup sederhana di rumah yang jauh dari kesan mewah di jalan sempit di Asem Baris, Tebet, Jakarta, hingga tutup usia pada 2017.
Dampak perbedaan strategi integrasi tersebut menimbulkan desakan militer agar Anton Tifaona dicopot dari jabatan dan meninggalkan Timor Timur. Akhirnya, Anton Tifaona kembali ke Mabes Polri, Jakarta, 1979.
Kebijakan integrasi Anton Tifaona semasa bertugas di Timor Timur yang bertentangan dengan pendekatan keamanan tersebut ternyata berbuntut panjang bagi kenaikan pangkat dan jabatan Anton Tifaona selanjutnya.
4. Paban VI Luar Negeri Kapolri, Jakarta 1979-1983
Kembali ke Jakarta, Kapolri Jenderal Awaludin Jamin menugaskan Anton Tifaona untuk suatu jabatan yang belum ada sebelumnya yaitu sebagai Perwira Pembantu (Paban) Bidang Luar Negeri dalam gugus tugas Asisten Operasi Polri.
Anton Tifaona ditantang Kapolri untuk segera merancang suatu konsep kerjasama antara Polri dengan Polis Di Raja Malaysia. Ia mulai dari nol membangun konsep kerja sama itu.
Berkat kecerdasan, tekad dan kerja keras, serta komunikasi yang intens dengan pihak Polis Di Raja Malaysia, Anton Tifaona membuktikan diri sebagai seorang konseptor handal dalam tubuh Polri saat itu.
Konsep Kerja sama di antara dua badan kepolisian antar negara itu dirancang dengan baik dan berujung pada gelar latihan bersama dengan sandi Latma Aman Malindo, tahun 1982.
5. Asisten Operasi Polda Jawa Timur 1983-1984
Kewajiban memakai helm bagi pengendara motor itu ternyata dimulai dari Jawa Timur pada tahun 1984.
Ketika itu, Anton Tifaona selaku Asisten Operasi Polda Jatim dibantu Koesparmono Irsan membangun suatu konsep dan kebijakan tentang kewajiban memakai helm yang tepat dan bertahap bagi masyarakat kota Surabaya dan meluas ke Jawa Timur hingga diadopsi ke seluruh Indonesia.
Polda Jawa Timur pada tahun 1983-1984 itu juga mencatat berbagai prestasi lain dengan adanya beberapa pelaksanaan operasi polisi yang dirancang oleh Anton Tifaona.
Operasi Hit and Run, Cross System, dan Blietz Krieg, Operasi Zebra, Operasi Pijar, Operasi Wanalaga, dan Operasi Sapu Bersih adalah hasil pemikiran Anton Tifaona. Beberapa operasi tersebut diadopsi oleh Polri dan terus dimanfaatkan hingga sekarang.
6. Kapolda Maluku 1985-1986
Nama Anton Enga Tifaona sangat dikenal di Maluku. Dia berkeliling dengan kapal laut ke hampir semua pulau kecil dalam wilayah provinsi Maluku yang amat luas itu untuk menyelesaikan berbagai perkara melalui sistem Pengadilan Terapung.
Cara kerja itu adalah model kepemimpinan pelayanan yang tanggap dan kreatif.
Mau jemput bola agar cepat memberikan kepastian hukum. Pengadilan Terapung itu berbiaya murah bagi masyarakat pencari keadilan, daripada harus diadili di ibukota kabupaten atau berlayar ke Ambon.
Melalui sistem Pengadilan Terapung Anton Tifaona menerapkan pendekatan adat dan budaya terhadap pelaku pelanggaran.
Bagi Anton Tifaona, sanksi sosial serta peran tetua adat setempat, akan lebih efektif menyadarkan pelaku pidana tertentu daripada memenjarakan pelaku yang bisa beresiko mengakibatkan seseorang bersalah semakin jahat.
Anton Tiafona memang berkeyakinan bahwa bukan dengan kekerasan melainkan dengan pendekatan kultural sosiologis dan religius yang kuat maka suatu peradaban masyarakat bisa bertahan dan berkembang semakin bermartabat.
Semasa bertugas sebagai Kapolda Maluku, Anton Tifaona pernah menyusun sebuah konsep standar profesional Abdi Bhayangkara yang dikenal sebagai Program Pancasiap.
Program ini diadopsi secara nasional dalam lingkungan Polri karena sangat membantu dalam hal manajemen organisasi kepolisian untuk meng-cover berbagai jenis operasi di lapangan.
7. Kapolda Sulutteng 1986-1988
Tahun 1986, Anton Tifaona ditugaskan sebagai Kapolda Sulutteng. Ia tetap menyandang pangkat Kolonel. Tidak ada promosi pangkat karena saat ia mutasi, status Polda Sulutteng diturunkan dari tipe B menjadi tipe C.
Anton Tifaona tidak protes, ia taat perintah atasan, walau ia pun tahu bahwa persoalan lama dari Timor Timur itu masih terus membayangi kenaikan pangkatnya.
Di Manado, Anton Tifaona kembali menciptakan suatu tradisi baru dalam aktivitas kerja polisi sehari hari. Sebagai Kapolda, ia mewajibkan doa bersama sebelum dan setelah selesai jam kerja di kantor.
Tradisi ini diadopsi Mabes Polri dan menjadi rutinitas secara nasional di Polri.
8. Wakapolda Jawa Barat 1988-1989.
Tahun 1988, Kapolri, Jenderal Sanusi menugaskan Anton Enga Tifaona sebagai Wakapolda Jawa Barat.
Secara jenjang karir, seseorang yang pernah menjabat 2 kali Kapolda lalu ditugaskan sebagai Wakapolda itu merupakan gejala yang membingungkan.
Bagaimanapun, dengan pangkat Kolonel itu, Anton Tifaona tetap mampu bekerja ekstra dan profesional khususnya di bidang operasional dalam kolaborasi dengan Kapolda Jawa Barat, Sidharto Danusubroto, senior di PTIK, angkatan VII yang saat itu sudah berpangkat Mayor Jenderal Polisi.
Anton Tifaona saat itu sukses membangun sinergi dengan Pemerintahan Provinsi Jawa Barat yang dipimpin oleh Gubernur Yogie S Memet untuk mengatasi masalah kemacetan lalulintas di wilayah Jawa Barat selama masa hari raya Idul Fitri.
Anton Tifaona juga menciptakan solusi bagi kemacetan lalulintas di jalur Puncak pada setiap akhir pekan dan musim liburan.
Kemacetan yang selalu terjadi berjam jam itu sangat menghambat berbagai urusan dan kepentingan masyarakat.
Bayangkan bila terjadi emergensi ibu melahirkan menuju rumah sakit namun terpaksa partus di kendaraan karena jalanan begitu macet. Dengan dukungan berbagai pihak terkait Anton Tifaona mengenalkan rekayasa Buka Tutup Lalulintas Jalur Puncak.
Metode Buka Tutup yang sukses ini dimanfaatkan sampai hari ini dengan sejumlah modifikasi.
Menjelang purna bhakti sebagai Abdi Bhayangkara, Anton Tifaona menggapai pangkat jenderal polisi bintang satu. Walaupun terlambat, promosi pangkat ini merupakan pengakuan yang tulus dari Polri atas pengabdian luar biasa dari salah seorang anggotanya.
Seorang jenderal polisi, dalam Seminar Nasional tersebut di atas mengungkapkan, sesungguhnya untuk perwira polisi sekelas Anton Enga Tifaona itu layak menyandang 3 bintang.
Pahlawan
Pahlawan, dalam artian orang yang berjasa dan berkorban tanpa pamrih bagi orang lain merupakan realitas pengalaman hidup Anton Tifaona, sejak kecil di dusun Imulolo, Lembata, Flores hingga menjadi seorang Abdi Bhayangkara.
Pahlawan bagi Anton Tifaona adalah mereka yang telah berjasa menjadikan dirinya dari bukan siapa siapa menjadi manusia berguna bagi masyarakat negara dan bangsa.
Nilai kepahlawanan bukan sesuatu yang asing dalam diri Anton Tifaona. Ia tinggal meniru dan melanjutkan nilai yang telah tertanam kuat dalam hati sanubarinya. Maka seluruh catatan pengabdian dan perjuangan Anton Tifaona terbukti memancarkan nilai nilai kepahlawanan tersebut.
Masyarakat NTT, khususnya masyarakat Flores saat ini tengah mengajukan dua figur pejuang asal Flores untuk mendapat pengakuan negara sebagai Pahlawan Nasional. Frans Seda dan Anton Enga Tifaona.
Usulan ini tentu bukan kultus individu melainkan demi pewarisan nilai-
nilai kepahlawanan.
Dewasa ini sering dikeluhkan bahwa situasi dan kondisi penegakan hukum dan keadilan di Indonesia semakin merosot. Hukum bisa diperjualbelikan. Hukum tumpul ke atas tajam ke bawah. Hukum tunduk pada kekuasaan. Bagaimana membersihkan lantai dengan sapu yang kotor?
Dengan demikian usulan bagi pengakuan negara atas perjuangan dan pengabdian Anton Tifaona yang adalah seorang Abdi Bhayangkara sejati itu mendapat momen yang tepat. Brigjen Pol (Purn) Drs. Anton Enga Tifaona dengan keteladanannya memang layak menjadi Pahlawan Nasional. (*)
Opini: Prada Lucky dan Tentang Degenerasi Moral Kolektif |
![]() |
---|
Opini: Drama BBM Sabu Raijua, Antrean Panjang Solusi Pendek |
![]() |
---|
Opini: Kala Hoaks Menodai Taman Eden, Antara Bahasa dan Pikiran |
![]() |
---|
Opini: Korupsi K3, Nyawa Pekerja Jadi Taruhan |
![]() |
---|
Opini: FAFO Parenting, Apakah Anak Dibiarkan Merasakan Akibatnya Sendiri? |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.