Opini

Opini: Magun Anton Tifaona

Pada masa pensiun, ia hidup sederhana di rumah yang jauh dari kesan mewah di jalan sempit di Asem Baris, Tebet, Jakarta, hingga tutup usia pada 2017.

|
Editor: Dion DB Putra
POS-KUPANG.COM/RICKO WAWO
Ketua DPRD Kabupaten Lembata, Petrus Gero, saat menerima Forum Perjuangan Pahlawan Nasional Brigjen Pol (Purn) Drs. Anton Enga Tifaona (Forpalnas) Kabupaten Lembata yang menyampaikan usulan memperjuangkan Anton Tifaona menjadi Pahlawan Nasional. 

Oleh Drs. GF Didinong Say
Pengamat Sosial

POS-KUPANG.COM - Brigjen Pol (Purn) Drs. Anton Enga Tifaona, lahir di dusun Imulolo, Lembata, Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT), tahun 1934.

Pada masa pensiun, ia hidup sederhana di rumah yang jauh dari kesan mewah di jalan sempit di Asem Baris, Tebet, Jakarta, hingga tutup usia pada tahun 2017.

Anton Tifaona, sesepuh masyarakat diaspora NTT di Jabodetabek ini kerap disapa Magun Anton (= Bapa Anton), khususnya oleh kalangan masyarakat Flores asal Lembata dan Flores Timur.

Kabupaten Lembata di Flores yang terbentuk pada tahun 1999 itu tak lepas dari kontribusi Anton Tifaona. Untuk menghormati jasa beliau, namanya diabadikan pada sebuah jalan di kota Lewoleba, Lembata dan patung profil Anton Tifaona didirikan di jalan tersebut.

Pada Sabtu, 27 Januari 2024, di Aula Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK), Mabes Polri Jakarta, diselenggarakan Seminar Nasional dalam rangka upaya mengusulkan pemberian gelar Pahlawan Nasional bagi Brigjen Pol (Purn) Drs. Anton Enga Tifaona.

Apakah sosok Brigjen Pol (Purn) Drs. Anton Enga Tifaona layak menyandang gelar Pahlawan Nasional?

Dukungan

Anton Enga Tifaona dikenang rekan seprofesi, mantan atasan ataupun bawahan sebagai sosok perwira polisi yang bersahaja, jujur, solider, pekerja keras, tegas, disiplin, konseptor, kreatif, organisatoris, bertanggungjawab, dan selalu menjaga kehormatan korps Bhayangkara.

Dukungan atas upaya dan usulan pemberian gelar Pahlawan Nasional tersebut datang dari berbagai kalangan masyarakat, akademisi, pemuda, mahasiswa, lembaga, kelompok ormas, dan lain lain.

Dukungan terbesar muncul dari rekan seprofesi yang pernah bekerja sama dengannya.

Institusi Polri tentu akan bangga bila negara mengakui anggota Abdi Bhayangkara tersebut sebagai pahlawan nasional, panutan bangsa.

Mayjen Pol (Purn) Drs. Shidarto Danusubroto, SH, Kapolda Jawa Barat, 1988-1991, bersaksi Anton Tifaona adalah sosok yang patut diteladani oleh segenap abdi Bhayangkara karena pengabdiannya sebagai polisi yang total, penuh pengorbanan dan menunjukkan diri sebagai patriot dengan sikap, karya serta nilai nilai yang patut diwarisi generasi penerus.

Perjuangan dan Testimoni

Pro Deo et Patria (Untuk Tuhan dan Tanah Air), adalah judul otobiografi yang mengungkapkan rangkaian kisah pengabdian dan perjuangan Anton Enga Tifaona sebagai seorang Abdi Bhayangkara sejak tahun 1963 hingga 1989.

Beberapa tugas dan prestasi menonjol, di antaranya sebagai berikut.

1. Danres Ngada, Flores, NTT, 1963-1965

Setelah menyelesaikan pendidikan bakeloriat di PTIK Jakarta 1963, Anton Tifaona ditugaskan sebagai Komandan Resort (Danres) Ngada. Sering terdengar rumor bahwa NTT atau Indonesia Timur itu merupakan wilayah tugas buangan bagi aparat penegak hukum bermasalah.

Asumsi tersebut nampak juga di Ngada ketika Anton Tifaona mengawali tugasnya pada tahun 1963 itu.

Di masa itu, mungkin karena stres dengan situasi dan kondisi yang serba terbatas di daerah terpencil, polisi suka melakukan kekerasan fisik kepada masyarakat.

Polisi bisa menempeleng warga hanya karena emosional yang tidak terkait pelanggaran hukum. Melihat tindak tanduk arogan tersebut, Anton Tifaona mengambil sikap tegas.

Bagi Anton, polisi bukanlah preman berseragam, melainkan pengayom dan pelindung masyarakat sekaligus teladan ketertiban dan kedisiplinan.

Dalam acara apel perkenalan, ia tegaskan bahwa polisi sama sekali tidak boleh melakukan kekerasan fisik tanpa alasan kepada warga.

Selaku Danres, ia tak segan minta masyarakat korban untuk membalas setimpal perbuatan oknum polisi pelaku kekerasan tanpa dasar itu di hadapannya.

Ternyata teknik penyadaran seperti ini terbukti segera mengubah mental dan perilaku para bawahan, menjadi polisi profesional.

Muncul suasana kondusif yaitu saling menghormati di antara warga dengan aparat dan institusi Polri. Kesadaran hukum dan ketertiban umum hadir otomatis dalam relasi saling respek di antara warga dengan penegak hukum.

2. Komandan Koronair II Kalimantan, 1967-1976

Selepas tugas di Ngada, di antara tahun 1965 - 1967, Anton Tifaona sibuk menyelesaikan pendidikan tahap doktoral di PTIK Jakarta hingga menyandang gelar Doktorandus Ilmu Kepolisian.

Selanjutnya, ia ditugaskan ke Kalimantan di mana ia meniti karir kepolisian dan mengembangkan kepemimpinan selama 10 tahun.

Anton Tifaona adalah lulusan terbaik PTIK angkatan VIII-Mintaraga. Tak heran, ketika Mabes Polri mengembangkan tugas kepolisian di bidang perairan dan udara tahun 1970, ia ikut sebagai anggota tim perancang konsep komando polisi perairan dan udara, khusus di wilayah Kalimantan.

Berkat kemampuan dan prestasinya, putra Lembata Flores ini berhasil mendapatkan promosi hingga mencapai posisi sebagai Komandan Koronair II Kalimantan, 1972 dengan pangkat Letkol Pol (AKBP).

Jabatan Komandan Koronair II Kalimantan itu memiliki kekuasaan yang besar. Namun Anton Tifaona mampu bertahan sebagai pribadi yang bersahaja yang tidak terjerumus godaan kekuasaan.

Segala upaya penyuapan oleh pelaku pembalakan liar dan penyelundupan kayu di Kalimantan saat itu ia tampik dan pelakunya ditindak tegas tanpa pandang bulu.

3. Dantarres Timtim 1977-1979

Tahun 1976, Anton Tifaona ditunjuk langsung oleh Kapolri Jenderal Drs. Widodo Budidarmo untuk bertugas sebagai Komandan Antar Resort (Dantarres) Timor Timur dengan kenaikan pangkat Kolonel Polisi.

Ini sebuah jabatan setingkat Kapolda. Selama 3 tahun bertugas sebagai Dantarres Timor Timur, Anton Tifaona mencatat berbagai prestasi gemilang.

Puluhan ribu pengungsi Timor Timur dampak perang saudara dari masa sebelumnya, dikawal kepolisian dengan selamat dari hutan pulang kembali ke pemukiman.

Ini adalah tugas kemanusiaan yang berisiko tinggi bagi kepolisian. Bahkan, ketika melaksanakan tugas pengawalan tersebut, Anton Tifaona tidak jarang terlibat pula dalam kontak senjata melawan Fretilin.

Untuk mendukung upaya integrasi, Anton Tifaona mulai mengembangkan strategi pendekatan budaya dan olahraga antar Provinsi Timor Timur dan NTT.

Pendekatan tersebut cukup berhasil menggugah kesadaran masyarakat Timor Timur dalam hal relasi historis dan kultural dengan masyarakat NTT dan Indonesia pada umumnya.

Dengan strategi integrasi tersebut, nama Anton Tifaona sempat populer di kalangan masyarakat Timor Timur masa itu.

Namun strategi integrasi Anton Tifaona tersebut justru mendapat resistensi dari pihak militer Indonesia yang lebih condong kepada pendekatan keamanan.

Komjen Pol (Purn) Gories Mere yang pernah menjadi anak buah Anton Tifaona di Timor Timur mengisahkan bahwa walaupun mendapat tekanan militer atas metode integrasi yang ia terapkan tersebut, Anton Tifaona saat itu tak gentar sedikit pun.

Dia meyakini bahwa jauh lebih baik membangun ikatan persaudaraan dan kebangsaan yang tulus dengan masyarakat Timor Timur daripada menanam permusuhan atau bibit kebencian. Sejarah mencatat pada Referendum 1999, mayoritas masyarakat Timor Timur memilih memisahkan diri dari Indonesia.

Bagaimanapun, pada saat itu, Polri masih merupakan bagian kesatuan dari ABRI yang sering harus tunduk pada kehendak pihak penguasa militer.

Dampak perbedaan strategi integrasi tersebut menimbulkan desakan militer agar Anton Tifaona dicopot dari jabatan dan meninggalkan Timor Timur. Akhirnya, Anton Tifaona kembali ke Mabes Polri, Jakarta, 1979.

Kebijakan integrasi Anton Tifaona semasa bertugas di Timor Timur yang bertentangan dengan pendekatan keamanan tersebut ternyata berbuntut panjang bagi kenaikan pangkat dan jabatan Anton Tifaona selanjutnya.

4. Paban VI Luar Negeri Kapolri, Jakarta 1979-1983

Kembali ke Jakarta, Kapolri Jenderal Awaludin Jamin menugaskan Anton Tifaona untuk suatu jabatan yang belum ada sebelumnya yaitu sebagai Perwira Pembantu (Paban) Bidang Luar Negeri dalam gugus tugas Asisten Operasi Polri.

Anton Tifaona ditantang Kapolri untuk segera merancang suatu konsep kerjasama antara Polri dengan Polis Di Raja Malaysia. Ia mulai dari nol membangun konsep kerja sama itu.

Berkat kecerdasan, tekad dan kerja keras, serta komunikasi yang intens dengan pihak Polis Di Raja Malaysia, Anton Tifaona membuktikan diri sebagai seorang konseptor handal dalam tubuh Polri saat itu.

Konsep Kerja sama di antara dua badan kepolisian antar negara itu dirancang dengan baik dan berujung pada gelar latihan bersama dengan sandi Latma Aman Malindo, tahun 1982.

5. Asisten Operasi Polda Jawa Timur 1983-1984

Kewajiban memakai helm bagi pengendara motor itu ternyata dimulai dari Jawa Timur pada tahun 1984.

Ketika itu, Anton Tifaona selaku Asisten Operasi Polda Jatim dibantu Koesparmono Irsan membangun suatu konsep dan kebijakan tentang kewajiban memakai helm yang tepat dan bertahap bagi masyarakat kota Surabaya dan meluas ke Jawa Timur hingga diadopsi ke seluruh Indonesia.

Polda Jawa Timur pada tahun 1983-1984 itu juga mencatat berbagai prestasi lain dengan adanya beberapa pelaksanaan operasi polisi yang dirancang oleh Anton Tifaona.

Operasi Hit and Run, Cross System, dan Blietz Krieg, Operasi Zebra, Operasi Pijar, Operasi Wanalaga, dan Operasi Sapu Bersih adalah hasil pemikiran Anton Tifaona. Beberapa operasi tersebut diadopsi oleh Polri dan terus dimanfaatkan hingga sekarang.

6. Kapolda Maluku 1985-1986

Nama Anton Enga Tifaona sangat dikenal di Maluku. Dia berkeliling dengan kapal laut ke hampir semua pulau kecil dalam wilayah provinsi Maluku yang amat luas itu untuk menyelesaikan berbagai perkara melalui sistem Pengadilan Terapung.

Cara kerja itu adalah model kepemimpinan pelayanan yang tanggap dan kreatif.

Mau jemput bola agar cepat memberikan kepastian hukum. Pengadilan Terapung itu berbiaya murah bagi masyarakat pencari keadilan, daripada harus diadili di ibukota kabupaten atau berlayar ke Ambon.

Melalui sistem Pengadilan Terapung Anton Tifaona menerapkan pendekatan adat dan budaya terhadap pelaku pelanggaran.

Bagi Anton Tifaona, sanksi sosial serta peran tetua adat setempat, akan lebih efektif menyadarkan pelaku pidana tertentu daripada memenjarakan pelaku yang bisa beresiko mengakibatkan seseorang bersalah semakin jahat.

Anton Tiafona memang berkeyakinan bahwa bukan dengan kekerasan melainkan dengan pendekatan kultural sosiologis dan religius yang kuat maka suatu peradaban masyarakat bisa bertahan dan berkembang semakin bermartabat.

Semasa bertugas sebagai Kapolda Maluku, Anton Tifaona pernah menyusun sebuah konsep standar profesional Abdi Bhayangkara yang dikenal sebagai Program Pancasiap.

Program ini diadopsi secara nasional dalam lingkungan Polri karena sangat membantu dalam hal manajemen organisasi kepolisian untuk meng-cover berbagai jenis operasi di lapangan.

7. Kapolda Sulutteng 1986-1988

Tahun 1986, Anton Tifaona ditugaskan sebagai Kapolda Sulutteng. Ia tetap menyandang pangkat Kolonel. Tidak ada promosi pangkat karena saat ia mutasi, status Polda Sulutteng diturunkan dari tipe B menjadi tipe C.

Anton Tifaona tidak protes, ia taat perintah atasan, walau ia pun tahu bahwa persoalan lama dari Timor Timur itu masih terus membayangi kenaikan pangkatnya.

Di Manado, Anton Tifaona kembali menciptakan suatu tradisi baru dalam aktivitas kerja polisi sehari hari. Sebagai Kapolda, ia mewajibkan doa bersama sebelum dan setelah selesai jam kerja di kantor.

Tradisi ini diadopsi Mabes Polri dan menjadi rutinitas secara nasional di Polri.

8. Wakapolda Jawa Barat 1988-1989.

Tahun 1988, Kapolri, Jenderal Sanusi menugaskan Anton Enga Tifaona sebagai Wakapolda Jawa Barat.

Secara jenjang karir, seseorang yang pernah menjabat 2 kali Kapolda lalu ditugaskan sebagai Wakapolda itu merupakan gejala yang membingungkan.

Bagaimanapun, dengan pangkat Kolonel itu, Anton Tifaona tetap mampu bekerja ekstra dan profesional khususnya di bidang operasional dalam kolaborasi dengan Kapolda Jawa Barat, Sidharto Danusubroto, senior di PTIK, angkatan VII yang saat itu sudah berpangkat Mayor Jenderal Polisi.

Anton Tifaona saat itu sukses membangun sinergi dengan Pemerintahan Provinsi Jawa Barat yang dipimpin oleh Gubernur Yogie S Memet untuk mengatasi masalah kemacetan lalulintas di wilayah Jawa Barat selama masa hari raya Idul Fitri.

Anton Tifaona juga menciptakan solusi bagi kemacetan lalulintas di jalur Puncak pada setiap akhir pekan dan musim liburan.

Kemacetan yang selalu terjadi berjam jam itu sangat menghambat berbagai urusan dan kepentingan masyarakat.

Bayangkan bila terjadi emergensi ibu melahirkan menuju rumah sakit namun terpaksa partus di kendaraan karena jalanan begitu macet. Dengan dukungan berbagai pihak terkait Anton Tifaona mengenalkan rekayasa Buka Tutup Lalulintas Jalur Puncak.

Metode Buka Tutup yang sukses ini dimanfaatkan sampai hari ini dengan sejumlah modifikasi.

Menjelang purna bhakti sebagai Abdi Bhayangkara, Anton Tifaona menggapai pangkat jenderal polisi bintang satu. Walaupun terlambat, promosi pangkat ini merupakan pengakuan yang tulus dari Polri atas pengabdian luar biasa dari salah seorang anggotanya.

Seorang jenderal polisi, dalam Seminar Nasional tersebut di atas mengungkapkan, sesungguhnya untuk perwira polisi sekelas Anton Enga Tifaona itu layak menyandang 3 bintang.

Pahlawan

Pahlawan, dalam artian orang yang berjasa dan berkorban tanpa pamrih bagi orang lain merupakan realitas pengalaman hidup Anton Tifaona, sejak kecil di dusun Imulolo, Lembata, Flores hingga menjadi seorang Abdi Bhayangkara.

Pahlawan bagi Anton Tifaona adalah mereka yang telah berjasa menjadikan dirinya dari bukan siapa siapa menjadi manusia berguna bagi masyarakat negara dan bangsa.

Nilai kepahlawanan bukan sesuatu yang asing dalam diri Anton Tifaona. Ia tinggal meniru dan melanjutkan nilai yang telah tertanam kuat dalam hati sanubarinya. Maka seluruh catatan pengabdian dan perjuangan Anton Tifaona terbukti memancarkan nilai nilai kepahlawanan tersebut.

Masyarakat NTT, khususnya masyarakat Flores saat ini tengah mengajukan dua figur pejuang asal Flores untuk mendapat pengakuan negara sebagai Pahlawan Nasional. Frans Seda dan Anton Enga Tifaona.

Usulan ini tentu bukan kultus individu melainkan demi pewarisan nilai-
nilai kepahlawanan.

Dewasa ini sering dikeluhkan bahwa situasi dan kondisi penegakan hukum dan keadilan di Indonesia semakin merosot. Hukum bisa diperjualbelikan. Hukum tumpul ke atas tajam ke bawah. Hukum tunduk pada kekuasaan. Bagaimana membersihkan lantai dengan sapu yang kotor?

Dengan demikian usulan bagi pengakuan negara atas perjuangan dan pengabdian Anton Tifaona yang adalah seorang Abdi Bhayangkara sejati itu mendapat momen yang tepat. Brigjen Pol (Purn) Drs. Anton Enga Tifaona dengan keteladanannya memang layak menjadi Pahlawan Nasional. (*)

Sumber: Pos Kupang
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved