Opini

Opini: Magun Anton Tifaona

Pada masa pensiun, ia hidup sederhana di rumah yang jauh dari kesan mewah di jalan sempit di Asem Baris, Tebet, Jakarta, hingga tutup usia pada 2017.

|
Editor: Dion DB Putra
POS-KUPANG.COM/RICKO WAWO
Ketua DPRD Kabupaten Lembata, Petrus Gero, saat menerima Forum Perjuangan Pahlawan Nasional Brigjen Pol (Purn) Drs. Anton Enga Tifaona (Forpalnas) Kabupaten Lembata yang menyampaikan usulan memperjuangkan Anton Tifaona menjadi Pahlawan Nasional. 

Berkat kemampuan dan prestasinya, putra Lembata Flores ini berhasil mendapatkan promosi hingga mencapai posisi sebagai Komandan Koronair II Kalimantan, 1972 dengan pangkat Letkol Pol (AKBP).

Jabatan Komandan Koronair II Kalimantan itu memiliki kekuasaan yang besar. Namun Anton Tifaona mampu bertahan sebagai pribadi yang bersahaja yang tidak terjerumus godaan kekuasaan.

Segala upaya penyuapan oleh pelaku pembalakan liar dan penyelundupan kayu di Kalimantan saat itu ia tampik dan pelakunya ditindak tegas tanpa pandang bulu.

3. Dantarres Timtim 1977-1979

Tahun 1976, Anton Tifaona ditunjuk langsung oleh Kapolri Jenderal Drs. Widodo Budidarmo untuk bertugas sebagai Komandan Antar Resort (Dantarres) Timor Timur dengan kenaikan pangkat Kolonel Polisi.

Ini sebuah jabatan setingkat Kapolda. Selama 3 tahun bertugas sebagai Dantarres Timor Timur, Anton Tifaona mencatat berbagai prestasi gemilang.

Puluhan ribu pengungsi Timor Timur dampak perang saudara dari masa sebelumnya, dikawal kepolisian dengan selamat dari hutan pulang kembali ke pemukiman.

Ini adalah tugas kemanusiaan yang berisiko tinggi bagi kepolisian. Bahkan, ketika melaksanakan tugas pengawalan tersebut, Anton Tifaona tidak jarang terlibat pula dalam kontak senjata melawan Fretilin.

Untuk mendukung upaya integrasi, Anton Tifaona mulai mengembangkan strategi pendekatan budaya dan olahraga antar Provinsi Timor Timur dan NTT.

Pendekatan tersebut cukup berhasil menggugah kesadaran masyarakat Timor Timur dalam hal relasi historis dan kultural dengan masyarakat NTT dan Indonesia pada umumnya.

Dengan strategi integrasi tersebut, nama Anton Tifaona sempat populer di kalangan masyarakat Timor Timur masa itu.

Namun strategi integrasi Anton Tifaona tersebut justru mendapat resistensi dari pihak militer Indonesia yang lebih condong kepada pendekatan keamanan.

Komjen Pol (Purn) Gories Mere yang pernah menjadi anak buah Anton Tifaona di Timor Timur mengisahkan bahwa walaupun mendapat tekanan militer atas metode integrasi yang ia terapkan tersebut, Anton Tifaona saat itu tak gentar sedikit pun.

Dia meyakini bahwa jauh lebih baik membangun ikatan persaudaraan dan kebangsaan yang tulus dengan masyarakat Timor Timur daripada menanam permusuhan atau bibit kebencian. Sejarah mencatat pada Referendum 1999, mayoritas masyarakat Timor Timur memilih memisahkan diri dari Indonesia.

Bagaimanapun, pada saat itu, Polri masih merupakan bagian kesatuan dari ABRI yang sering harus tunduk pada kehendak pihak penguasa militer.

Halaman
1234
Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved