Opini
Opini: Kontroversi Harga Beras
Di sinilah arti strategis program Nawacita yang menggariskan kedaulatan pangan sebagai model pembangunan pertanian dan pangan.
Pertanyaannya, mengapa perilaku harga beras begitu rentan terhadap siklus harga terutama pasca Pilpres?
Pertama, tentu karena permintaan naik. Sebab, kedua, tak ada pengelolaan pasokan. Proyeksi produksi dalam negeri tak dilakukan secara akurat sehingga data pasokan tak realistis. Akibatnya, terjadi kerentanan dalam keseimbangan produksi dan konsumsi.
Selain soal penawaran dan permintaan sebagai faktor fundamental, ada pula faktor ketiga (non-ekonomi) yakni Pemerintah menggunakan stok beras milik Bulog sampai 1,3 juta ton terkait Bansos di saat-saat bulan-bulan Pemilu. (Kompas.com, 26/02/2024).
Dengan kata lain, beras (impor) mestinya menjadi alat untuk stabilisasi harga ke pasaran malah dipakai oleh pemerintah untuk kebijakan Bansos. Sehingga, membuat kondisi pasokan beras dipasaran menjadi semakin kritis.
Tak perlu menunggu waktu lama, destruksi pasar akhirnya terjadi. Dalam tempo cepat, harga beras melonjak tak terkendali.
Implikasinya, berdampak langsung terhadap anjloknya daya beli masyarakat yang berimbas pada upaya penurunan kemiskinan dan kemiskinan ekstrem yang menjadi target pemerintah.
Padahal, salah satu kunci untuk menggerakkan konsumsi rumah tangga adalah harga pangan yang stabil. Sebab, konsumsi rumah tangga berkontribusi sebagai sumber pertumbuhan ekonomi, diikuti komponen pembentukan inflasi.
Melihat kondisi ini, pemerintah perlu menjaga harga pangan karena saat ini inflasi volatile food (harga pangan) telah melebihi kenaikan upah pegawai.
Secara historis sejak 2020-2023, rerata inflasi bahan pangan sebesar 5,2 persen, sementara pangan dalam kue inflasi memiliki bobot yang cukup besar, yaitu 33,5 persen terhadap inflasi total.
Disamping itu, sepanjang 2019-2024 gaji ASN yang naik rata-rata 6,5 persen dan UMR buruh bahkan naik tak lebih dari 5 persen.
Jika dilihat dari perspektif supply chain dan value chain, kita akan dapat melihat saling ketergantungan antara proses ekonomi dan non ekonomi pada setiap segmen.
Pada kondisi inilah, pasar dikontrol pemilik kuasa akan menjadi penentu dalam kebijakan perberasan dan celakanya sistem pangan tergolong liberal dan distribusi pangan (beras) adalah oligopolistik.
Tiga hal
Kinerja ekonomi pangan Indonesia tidak dapat dilepaskan dari belum stabilnya kinerja pertumbuhan semua subsektor dalam sektor pertanian dalam arti luas. Situasi itulah yang sekarang terjadi pada pasar beras nasional.
Untuk itu, tak berlebihan jika nilai dasar sosial-ekonomi-politik perberasan harus menjiwai setiap kehendak dalam mengonstruksi kebijakan stabilisasi harga beras.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.