Opini
Opini: Kontroversi Harga Beras
Di sinilah arti strategis program Nawacita yang menggariskan kedaulatan pangan sebagai model pembangunan pertanian dan pangan.
Namun demikian, pada kenyataannya situasi ini diperburuk dengan adanya faktor penyumbat kebangkitan pertanian selama ini adalah politik pangan yang masih berpihak kepada kepentingan konsumen, bukan kepentingan petani, termasuk petani yang setelah panen menjadi net-consumer pangan.
Bahkan yang membingungkan, ada kesan menggampangkan implementasi pemenuhan stok cadangan beras dengan jargon dan obral angka bombastis.
Padahal, rerata kebutuhan konsumsi beras per bulan adalah sebesar 2,55-2,56 juta ton.
Sementara produksi beras pada Januari-Pebruari 2024 sebesar 0,91-1,39 juta ton. Sehingga, terdapat defisit produksi dibandingkan konsumsi sebesar 2,8 juta ton beras. (mediakeuangan.kemenkeu.go.id, 1/3/2024).
Oleh karena itu, Pemerintah menugaskan Badan Pangan Nasional untuk mengimpor beras sebanyak 1.6 juta ton guna mengatasi kondisi produksi padi nasional yang terpuruk.
Sekalipun BPS mencatat pada 2023 impor beras mencapai 3,06 juta ton, meningkat 613,61 persen dibandingkan 2022 impor sebanyak 429,21 ribu ton, 2021 sebesar 407,74 ribu ton, 2020 sebanyak 356,29 ribu ton, dan 2019 impor sebesar 444,51 ribu ton. (CNN Indonesia, 28/2/2024).
Sementara itu, dari perspektif ekonomi, pertanyaan yang segera mengemuka adalah siapa yang paling diuntungkan dari kebijakan impor beras? Secara common sense para pemilik modal yang akan memperoleh keuntungan terbesar.
Artinya, data ini tergolong spektakuler sekaligus mempertegas tampilnya relasi kapitalistik yang dominan dalam kuasa pangan dan menggagalkan klaim kenaikan produksi beras.
Sehingga, ada anekdotal karena dalam sistem yang terbuka ini, mengandalkan rantai pasokan nilai didalam negeri tak selalu menguntungkan.
Namun, merancang mata rantai pasokan dengan mempertimbangkan impor bukan berarti harus mengorbankan produsen domestik, apalagi kedaulatan domestik.
Destruksi pasar
Destruksi pasar beras menggambarkan keadaan pasar secara tepat; pasar adalah refleksi dari ekistensi kekuasaan sehingga pasar tidak hanya mengontrol, tetapi juga dikontrol (Miller, 1998 dalam Yustika, 2015).
Pasar mengontrol keseimbangan pasokan dan permintaan lewat sinyal harga. Jika harga naik, itu tanda pasokan mesti ditambah. Begitu pula sebaliknya.
Seluruh proses itu bisa dikoordinasi secara rapi oleh pasar, tanpa perlu intervensi negara, jika situasi pasar bersaing sempurna. Akan tetapi, mengandaikan situasi pasar seperti deskripsi itu seringkali membuat frustasi karena pasar persaingan sempurna lebih layak disebut fatamorgana.
Ada anomali pasar beras. Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani, (2024), harga beras secara global mengalami penurunan 6,5 persen sebagai akibat ketidakpastian harga komoditas, sebaliknya harga beras dalam negeri justru mengalami kenaikan 21 persen.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.