Opini

Opini: Pemilu dan Tanggung Jawab Menata Masa Depan Bangsa

Dengan semakin banyak orang terlibat dalam mengambil keputusan, maka konflik sosial dan ketidaksetaraan akan mudah dicegah dan diatasi.

Editor: Dion DB Putra
KOMPAS.COM/ERICSSEN
Ilustrasi pemilu. 

Kondisi yang disebutkan di atas, sangat disayangkan. Norberto Bobbio dalam bukunya The Future of Democracy (1987) sebagaimana dikutip Yasraf Amir Piliang dalam buku Indonesia di Jalan Restorasi (2013:xii) mengatakan, demokrasi kita telah dikendalikan oleh kekuatan tak tampak yakni mafioso, geng, preman, kurir, konspirator dan pedagang gelap.

Menurutnya, ketaktampakan dan ketakterawasan kekuatan ini akan sangat mengancam prinsip demokrasi karena tidak bekerjanya otoritas formal. Maka, kekuatan tak tampak itu mesti disingkap keberadaannya dan diawasi agar demokrasi tetap berjalan menurut kaidah yang benar seperti yang diatur dalam konstitusi.

Pierre Rosanvallon dalam bukunya Counter-Democracy: Politics in An Age of Distrust (2008) sebagaimana dikutip Yasraf Amir Piliang dalam buku Indonesia di Jalan Restorasi (2013:xiii) juga mengatakan, manusia politik tak lagi menggunakan kapasitas nalar, nurani dan keutamaan dalam praktik politik.

Akibatnya, ketika nilai, harkat dan martabat manusia dimuliakan, kita masih layak berbicara manusia politik. Namun, kemuliaan kini telah lenyap, menyisakan manusia yang tak punya malu, licik, serakah, pemangsa dan predator.

Manusia mudah diobjekkan bahkan disetarakan harga dirinya dengan barang-barang dagangan. Harkat dan martabat manusia terdegradasi ke level animal.

Sementara itu, Yasraf Amir Piliang dalam buku yang sama, Indonesia di Jalan Restorasi (2013:xiv) mengatakan, apabila politik hanya direduksi sebatas mencapai kulminasi kekuasaan, sedangkan tujuan yang hendak dilaksanakan yakni perjuangan gagasan, jalan memanusiakan manusia atau ruang untuk membangun makna kehidupan tak dapat dicapai, maka sesungguhnya tak ada lagi dunia politik.

Sebab politik bersentuhan langsung dengan realisasi gagasan demi kemanusiaan agar kehidupan yang bermakna dapat dialami semua orang yakni kesejahteraan, keadilan dan kedamaian.

Atas dasar itulah, maka Yanuar Nugroho dalam tulisannya berjudul Kriteria Pemimpin Kita, menegaskan, jikalau para pemimpin bangsa sungguh mau menata bangsa ini ke depan, maka semua praktik pergantian kekuasaan mesti berdasarkan pada kaidah demokrasi agar tidak menimbulkan defisit substansi.

Sebab seorang pemimpin mesti memiliki kesanggupan membangun bangsa sesuai mandat konstitusi. Pemimpin yang integral menjadi impian dan harapan masyarakat (https://www.kompas.id/baca/opini/2022/10/17/).

Defisit substansi dalam politik artinya politik mengacu pada situasi di mana keputusan politik atau proses pengambilan keputusan kurang memperhatikan atau tidak mempertimbangkan substansi atau inti dari masalah yang sedang dihadapi.

Ini berarti bahwa keputusan politik sering kali lebih didasarkan pada pertimbangan politis, strategi, atau ideologi daripada pada analisis mendalam tentang masalah yang sebenarnya.

Maka, yang tampak justru banyak terjadi janji-janji kosong, inkonsistensi gagasan, politik identitas yang berlebihan, pembatasan akses informasi oleh pemerintah juga politik pengalihan isu.

Dengan demikian, dibutuhkan pemimpin yang memiliki tanggung jawab untuk menata masa depan bangsa ini.

Sebagai pilar utama dalam pembangunan suatu negara, seorang pemimpin tidak hanya berkewajiban untuk mengelola keadaan saat ini, tetapi juga bertanggung jawab dan membentuk arah masa depan bangsa yang lebih baik bagi bangsa dan generasi mendatang.

Tanggung jawab utama bertindak sebagai arsitek perubahan yang mampu menciptakan landasan yang kokoh bagi pertumbuhan ekonomi, keadilan sosial, stabilitas politik dan harmoni antarwarga negara.

Halaman
123
Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved