Opini
Opini: Pemilu dan Tanggung Jawab Menata Masa Depan Bangsa
Dengan semakin banyak orang terlibat dalam mengambil keputusan, maka konflik sosial dan ketidaksetaraan akan mudah dicegah dan diatasi.
Oleh: Albertus Muda, S.Ag., Gr.
Guru SMA Negeri 2 Nubatukan, Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur
POS-KUPANG.COM - Pesta demokrasi lima tahunan telah usai. KPU RI pada Rabu (20/3/2024) telah mengumumkan hasil Pilpres 2024.
Berdasarkan berita acara KPU No. 218/PL.01.08-BA/05/2024, KPU RI menetapkan pasangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka sebagai pemenang, dengan perolehan suara 96.214.691 atau 58.6 persen, dari total suara sah 164.227.475 suara.
Disusul pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar 40.971.906 suara atau 24.9 persen dan pasangan Ganjar Pranowo dan Mahfud MD di urutan ketiga dengan total suara 27.040.878 atau 16.5 persen.
Meski demikian, kontestasi yang semestinya menjunjung tinggi etika, moralitas dan sportivitas, diduga dicederai karena disinyalir adanya penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan.
Demi meraih kekuasaan, berbagai cara yang imoral dilakonkan. Tak dapat kita pungkiri bahwa politik uang, persekongkolan bahkan premanisme pun menyertai proses pemilu tahun 2024.
Cara-cara ini mewarnai seluruh proses pemilu yang dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat.
Demokrasi kita tampaknya demokratis di permukaan tetapi secara intrinsik tidak sehat bahkan mengalami pembusukan. Mengapa? Karena pada tataran elite politik hingga masyarakat akar rumput, politik uang bertumbuh subur seperti jamur di musim hujan.
Kekuasaan rakyat yang semestinya dimandatkan atas dasar hati nurani dan pertimbangan akal sehat, malah dinodai dengan berbagai tindakan yang mendegradasi nilai demokrasi ke titik nadir.
Berbagai metode kampanye yang mengusung politik gagasan yang dipandang sebagai jalan pencerahan dan pendidikan politik bagi warga pemilih, malah dilindas oleh pertarungan kekayaan dan politik uang.
Masyarakat sepertinya sudah terpola dengan politik uang yang semakin tak terkendalikan. Imbauan agar ditegakkan netralitas, nyatanya masih sebatas seruan.
Kondisi riil di lapangan justru terjadi sebaliknya karena masyarakat diarahkan secara terstruktur, sistematis dan masif untuk mendukung calon tertentu, baik legislatif maupun eksekutif.
Masyarakat yang berlatar belakang pendidikan rendah juga ekonomi pas-pasan, secara politis telah dikondisikan untuk bergantung pada calon pemimpin yang memiliki uang atau kekayaan.
Masyarakat tidak lagi berpikir rasional dalam memilih. Siapa yang memberi, dialah yang mesti dipilih. Prinsip do ut des berlaku terstruktur, masif dan sistematis.
Rekam jejak, kompetensi, integritas dan kredibilitas yang mesti jadi rujukan seorang calon, dikalahkan oleh uang juga bantuan-bantuan yang sifatnya meninabobokan.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.