Opini

Harga Beras, Hukum Permintaan dan Edukasi Konsumen

Makan nasi adalah sebuah kewajiban yang tidak saja mengenyangkan tetapi juga menentramkan pikiran.

|
Editor: Dion DB Putra
ilustrasi
Bagi sebagian orang, makan nasi tidak saja mengenyangkan tetapi juga menentramkan pikiran. 

Oleh Emiliana Martuti Lawalu, SE,ME
Dosen FEB, Prodi Ekonomi Pembangunan Unwira Kupang

POS-KUPANG.COM - “Saya kalau tidak makan nasi, tidak bisa tidur.” Ini merupakan sebuah ucapan yang biasa tetapi bermakna bila dieksplorasi terkait kenaikan harga beras.

Kebergantungan pada beras tergambar dalam ucapan itu. Makan nasi adalah sebuah kewajiban yang tidak saja mengenyangkan tetapi juga menentramkan pikiran.

Dengan mengonsumsi nasi, orang akan tidur lebih nyenyak baik pada siang maupun pada malam hari.

Dengan demikian, ketika tidak makan nasi orang lantas mulai kepikiran atau berada dalam bayang-bayang antara ada dan tiada, atau antara hidup dan mati.

Oleh sebab itu, orang harus makan nasi meskipun orang sudah makan pisang, jagung.

Sebagai ibu rumah tangga, misalnya, memang kita akan selalu sensitif  dan merasa prihatin terhadap masalah-masalah seperti beras, gula pasir, minyak goreng karena berkaitan dengan kebutuhan rumah tangga sehari-hari.

Namun, dengan tingginya harga beras seperti yang sedang terjadi sekarang ini membuat warga terutama ibu-ibu rumah tangga akan semakin sulit memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari.

Sehubungan dengan itu, akhir-akhir ini mendengar dan membaca berita tentang melonjaknya harga beras.

Misalnya, di Kupang harga beras bervariasi di pasar Oesapa mulai dari Rp 14.000 per kg hingga Rp 18.000 per kg.

Mungkin saja kita lebih prefer terhadap beras murah tetapi fakta menunjukkan beras dengan harga semurah ini keadannya tampak kurang bersih alias kotor: tercampur kutu, kerikil, dan berbau tidak sedap.

Selanjutnya, dalam perkiraan, harga beras akan naik lagi mencapai Rp. 20.000 per kilogram beberapa hari ke depan dan yang dikhawatirkan adalah pasokan beras dari luar akan terhenti. (Kompas, 19 Februari, 2024).

Beras dalam Hukum Permintaan

Bagaimanakah persoalan kenaikan harga beras ini dihadapkan dengan hukum permintaan yang berlaku di dalam teori ekonomi mikro, misalnya?

Sebagaimana pada umumnya diketahui bahwa hukum permintaan merupakan konsep dalam ilmu ekonomi yang menjelaskan tentang sifat-sifat hubungan antara permintaan terhadap sesuatu barang dengan harganya.

Dalam hal ini, bila harga naik maka jumlah barang yang diminta semakin berkurang, sebaliknya bila harga turun jumlah barang yang diminta akan bertambah dengan asumsi faktor lain (cateris paribus) tidak berubah atau konstan.

Selain itu, kenaikan harga dan pertambahan permintaan biasanya juga disebabkan oleh unsur spekulasi.

Maksudnya, adanya kejadian-kejadian yang memengaruhi jumlah barang yang tersedia, misalnya, kegagalan panen, El Nino, dan juga situasi politik yang tidak menentu akan mendorong pelaku ekonomi untuk melakukan spekulasi (Amaliawati & Murni, 2017: 42).

Patut diakui bahwa nasi memiliki peranan yang sangat penting bagi kehidupan manusia sebab nasi sangat berdaya guna bagi asupan energy hidup manusia. Oleh sebab itu, kenaikan harga beras tidak membuat konsumen menurunkan permintaan jumlah beras.

Dengan kata lain, jumlah yang dibeli oleh konsumen akan tetap sama, baik pada saat sebelum maupun pada saat sesudah kenaikan harga beras.

Berarti, kenaikan harga beras tidak lantas membuat konsumen menurunkan jumlah beras yang dibeli, sementara secara teoretis kenaikan harga barang yang tidak diikuti kenaikan pendapatan akan menurunkan daya beli masyarakat.

Akan tetapi, hukum yang diterangkan di atas ini tidak berlaku terhadap beras yang harganya sangat melambung saat ini.

Gambaran di atas adalah sebuah penegasan tentang status komoditas beras dalam sebuah hokum permintaan.

Dengan kata lain bahwa fenomena kenaikan beras yang dihadapi oleh masyarakat saat ini akan menerangkan bahwa sekalipun berasnya tersedia tetapi harganya akan tetap semakin meningkat dan permintaan juga akan semakin banyak atau meningkat lagi.

Akan tetapi, kegelisahan juga akan semakin bertambah apabila kenaikan harga beras tidak diikuti kenaikan pendapatan konsumen.

Pastinya, konsumen yang harus mengeluarkan tambahan biayanya untuk membeli beras yang harganya tidak seperti biasanya.

Berarti, biaya yang tadinya dialokasikan untuk kebutuhan lain mesti dialokasikan lagi untuk menambah biaya membeli beras.

Sementara itu, tampak bahwa konsumen tetap bergeliat berburuh beras karena konsumen tidak memiliki pilihan lain untuk membeli barang pengganti (substitution) yang memiliki fungsi dan manfaat yang sama seperti beras.

Substitusi yang dimaksudkan di sini, misalnya, kalau beras mahal maka pilihan lain bisa diambil sebagai pengganti beras.

Dengan lain perkataan, kalau tidak ada beras sebetulnya kita masih bisa makan keladi, pisang, singkong, sukun dan jagung, misalnya.

Dengan demikian tidak berlakunya hukum permintaan terhadap komoditas beras karena selalu ada barang pengganti, substitusi sebagaimana disebutkan di atas.

Oleh sebab itu, ketika terjadi kenaikan harga beras dan juga tidak diikuti kenaikan pendapatan maka sebetulnya konsumen bisa berpikir untuk beralih kepada membeli jenis barang lain dengan harga lain yang lebih terjangkau.

Contohnya, bisa dikomparasikan secara sederhana, misalnya, kalau daging mahal maka orang pasti bisa mencari makanan pengganti seperti ikan atau tahu.

Pilihan seperti ini juga sebetulnya bisa terjadi atau dilakukan dengan beras sebagaimana dalam konteks hukum permintaan ini karena beras bisa disubstitusikan.

Kenaikan Harga Beras dan Edukasi Konsumen

Dalam kaitan dengan edukasi konsumen maka yang menarik sebetulnya adalah konsep substitusi dalam ilmu ekonomi sebagaimana yang digambarkan di atas.

Namun, soal lain sekarang ini adalah mentalitas manusia yang melihat beras masih semata-mata sebagai sebuah kewajiban, dan tidak lagi sebagai kebutuhan yang bisa disubstitusikan dengan bahan makanan yang lain.

Dengan mentalitas seperti ini maka pilihan terhadap komoditas atau bahan makanan yang lain tidak akan mungkin bisa diambil atau dilakukan.

Namun, sebetulnya dalam ilmu ekonomi mikro, misalnya, kita bisa mensubstitusikan komoditas beras dengan komoditas atau bahan makanan yang lain yang harganya lebih murah dan memiliki daya guna yang sama untuk kehidupan manusia.

Sederhananya, ketika orang tidak bisa menjangkau beras, orang masih bisa mengonsumsi pisang, singkong, jagung sebagai pengganti nasi.

Oleh sebab itu, pelajaran yang bisa dipetik dari kenaikan harga beras adalah mengurangi konsumsi nasi dan beralih kepada bahan makanan yang lainnya.

Pilihan ini dari sisi ekonomi, misalnya, tidak akan sangat berpengaruh terhadap daya beli masyarakat.

Tentunya untuk bisa menjangkau konsep ini secara praktis diperlukan edukasi yang tetap. Perlu perbaikan dan pembangunan mentalitas bersama.

Pembangunan mentalitas yang efektif terkait pola konsumsi sebetulnya dibentuk dalam model diversifikasi pangan, sebuah model yang lebih cocok dengan ontologi pertanian NTT.

Model diversifikasi pangan akan lebih menjawabi kesulitan ekonomi pangan orang NTT sekarang ini daripada berharap secara absolut pada satu jenis makanan. Gerakan secara structural ini tidak tertutup kemungkinan untuk dibantu, misalnya, oleh organ-organ dalam masyarakat sipil, seperti Lembaga Swadaya Masyarakat dan gereja sehingga usaha diversifikasi pangan juga bisa berjalan dalam sistem yaitu lebih utuh, terpadu, menyeluruh sifatnya. (*)

Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved