Opini
Harga Beras, Hukum Permintaan dan Edukasi Konsumen
Makan nasi adalah sebuah kewajiban yang tidak saja mengenyangkan tetapi juga menentramkan pikiran.
Dengan demikian tidak berlakunya hukum permintaan terhadap komoditas beras karena selalu ada barang pengganti, substitusi sebagaimana disebutkan di atas.
Oleh sebab itu, ketika terjadi kenaikan harga beras dan juga tidak diikuti kenaikan pendapatan maka sebetulnya konsumen bisa berpikir untuk beralih kepada membeli jenis barang lain dengan harga lain yang lebih terjangkau.
Contohnya, bisa dikomparasikan secara sederhana, misalnya, kalau daging mahal maka orang pasti bisa mencari makanan pengganti seperti ikan atau tahu.
Pilihan seperti ini juga sebetulnya bisa terjadi atau dilakukan dengan beras sebagaimana dalam konteks hukum permintaan ini karena beras bisa disubstitusikan.
Kenaikan Harga Beras dan Edukasi Konsumen
Dalam kaitan dengan edukasi konsumen maka yang menarik sebetulnya adalah konsep substitusi dalam ilmu ekonomi sebagaimana yang digambarkan di atas.
Namun, soal lain sekarang ini adalah mentalitas manusia yang melihat beras masih semata-mata sebagai sebuah kewajiban, dan tidak lagi sebagai kebutuhan yang bisa disubstitusikan dengan bahan makanan yang lain.
Dengan mentalitas seperti ini maka pilihan terhadap komoditas atau bahan makanan yang lain tidak akan mungkin bisa diambil atau dilakukan.
Namun, sebetulnya dalam ilmu ekonomi mikro, misalnya, kita bisa mensubstitusikan komoditas beras dengan komoditas atau bahan makanan yang lain yang harganya lebih murah dan memiliki daya guna yang sama untuk kehidupan manusia.
Sederhananya, ketika orang tidak bisa menjangkau beras, orang masih bisa mengonsumsi pisang, singkong, jagung sebagai pengganti nasi.
Oleh sebab itu, pelajaran yang bisa dipetik dari kenaikan harga beras adalah mengurangi konsumsi nasi dan beralih kepada bahan makanan yang lainnya.
Pilihan ini dari sisi ekonomi, misalnya, tidak akan sangat berpengaruh terhadap daya beli masyarakat.
Tentunya untuk bisa menjangkau konsep ini secara praktis diperlukan edukasi yang tetap. Perlu perbaikan dan pembangunan mentalitas bersama.
Pembangunan mentalitas yang efektif terkait pola konsumsi sebetulnya dibentuk dalam model diversifikasi pangan, sebuah model yang lebih cocok dengan ontologi pertanian NTT.
Model diversifikasi pangan akan lebih menjawabi kesulitan ekonomi pangan orang NTT sekarang ini daripada berharap secara absolut pada satu jenis makanan. Gerakan secara structural ini tidak tertutup kemungkinan untuk dibantu, misalnya, oleh organ-organ dalam masyarakat sipil, seperti Lembaga Swadaya Masyarakat dan gereja sehingga usaha diversifikasi pangan juga bisa berjalan dalam sistem yaitu lebih utuh, terpadu, menyeluruh sifatnya. (*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.