Opini

Harga Beras, Hukum Permintaan dan Edukasi Konsumen

Makan nasi adalah sebuah kewajiban yang tidak saja mengenyangkan tetapi juga menentramkan pikiran.

|
Editor: Dion DB Putra
ilustrasi
Bagi sebagian orang, makan nasi tidak saja mengenyangkan tetapi juga menentramkan pikiran. 

Dalam hal ini, bila harga naik maka jumlah barang yang diminta semakin berkurang, sebaliknya bila harga turun jumlah barang yang diminta akan bertambah dengan asumsi faktor lain (cateris paribus) tidak berubah atau konstan.

Selain itu, kenaikan harga dan pertambahan permintaan biasanya juga disebabkan oleh unsur spekulasi.

Maksudnya, adanya kejadian-kejadian yang memengaruhi jumlah barang yang tersedia, misalnya, kegagalan panen, El Nino, dan juga situasi politik yang tidak menentu akan mendorong pelaku ekonomi untuk melakukan spekulasi (Amaliawati & Murni, 2017: 42).

Patut diakui bahwa nasi memiliki peranan yang sangat penting bagi kehidupan manusia sebab nasi sangat berdaya guna bagi asupan energy hidup manusia. Oleh sebab itu, kenaikan harga beras tidak membuat konsumen menurunkan permintaan jumlah beras.

Dengan kata lain, jumlah yang dibeli oleh konsumen akan tetap sama, baik pada saat sebelum maupun pada saat sesudah kenaikan harga beras.

Berarti, kenaikan harga beras tidak lantas membuat konsumen menurunkan jumlah beras yang dibeli, sementara secara teoretis kenaikan harga barang yang tidak diikuti kenaikan pendapatan akan menurunkan daya beli masyarakat.

Akan tetapi, hukum yang diterangkan di atas ini tidak berlaku terhadap beras yang harganya sangat melambung saat ini.

Gambaran di atas adalah sebuah penegasan tentang status komoditas beras dalam sebuah hokum permintaan.

Dengan kata lain bahwa fenomena kenaikan beras yang dihadapi oleh masyarakat saat ini akan menerangkan bahwa sekalipun berasnya tersedia tetapi harganya akan tetap semakin meningkat dan permintaan juga akan semakin banyak atau meningkat lagi.

Akan tetapi, kegelisahan juga akan semakin bertambah apabila kenaikan harga beras tidak diikuti kenaikan pendapatan konsumen.

Pastinya, konsumen yang harus mengeluarkan tambahan biayanya untuk membeli beras yang harganya tidak seperti biasanya.

Berarti, biaya yang tadinya dialokasikan untuk kebutuhan lain mesti dialokasikan lagi untuk menambah biaya membeli beras.

Sementara itu, tampak bahwa konsumen tetap bergeliat berburuh beras karena konsumen tidak memiliki pilihan lain untuk membeli barang pengganti (substitution) yang memiliki fungsi dan manfaat yang sama seperti beras.

Substitusi yang dimaksudkan di sini, misalnya, kalau beras mahal maka pilihan lain bisa diambil sebagai pengganti beras.

Dengan lain perkataan, kalau tidak ada beras sebetulnya kita masih bisa makan keladi, pisang, singkong, sukun dan jagung, misalnya.

Halaman
123
Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved