Opini

Empati dan Toleransi Beragama Ala Soedjatmoko

Nurani bangsa yang tertuang dalam Pancasila mesti menjadi pedoman bersama, entah dalam bertindak maupun dalam berpikir sebagai bangsa.

|
Editor: Dion DB Putra
unsplash
Ilustrasi. 

Rajutan persaudaraan antaragama ini mendesak karena negeri kita adalah sebuah negeri yang memandang agama sebagai hal yang penting dalam kehidupan sehari-hari.

Seperti dirilis pada tahun 2015 oleh Pew Research Center (sebuah lembaga survei internasional di Amerika) Indonesia menempati posisi ketiga yang mengakui bahwa agama adalah hal yang urgen dalam kehidupan sehari-hari di antara berbagai negara di dunia (Gaya Nusantara: 2020, hal. 3).

Meski demikian, muncul juga berbagai kisah pilu yang menggores bahkan melukai spirit keberagaman itu sendiri. Religiositas masyarakat Indonesia kerap kali salah kaprah dan berakibat pada terabainya nilai kemanusiaan.

Atas nama doktrin atau kebenaran tunggal agama tertentu, sebagian kelompok cenderung diintimidasi atau ditindas (ibid.) Kehadiran kelompok agama lain dianggap sebagai ancaman dan oleh karenanya pelabelan kafir bagi kelompok yang berbeda dengan saya adalah sebuah hal yang lumrah terjadi.

“Saya, ya saya; anda, ya anda.” Ada semacam demarkasi yang tegas antara “agama saya dan agama anda”.

Bahkan, isu diskriminasi dan intoleransi dalam hal agama bertumbuh subur ketika pandemi Covid-19 melanda negeri ini. Pada 6 April 2021, SETARA Institute merilis data kondisi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan (KBB) di Indonesia Tahun 2020.

Salah satu temuan kunci yang dirilis SETARA Institute, yakni sepanjang 2020, terjadi 180 peristiwa pelanggaran KBB di Indonesia, dengan 422 tindakan yang terjadi.

“Dibandingkan tahun sebelumnya, jumlah peristiwa menurun tipis, yang mana pada 2019 terjadi 200 peristiwa pelanggaran KBB, namun dari sisi tindakan melonjak tajam dibandingkan sebelumnya yang ‘hanya’ 327 pelanggaran.”

Kita lihat sebuah ironi di sini. Agama yang mengajarkan cinta kasih dan persaudaraan justru mengingkari dirinya sendiri, merobek keindahan tersebut akibat ulah para penganut yang tidak memiliki keluasa berpikir.

Idealnya, setiap agama dituntut menerjemahkan doktrin keagamaannya ke dalam konteks ruang publik. Di ruang publik inilah, cinta kasih dan persaudaraan dijunjung tinggi. Inilah tanda toleransi yang ideal; tanda kesosialan manusia diamalkan.

Dengan perkataan lain, privatisasi kesalehan yang menjadi karakter orang beragama mesti bertransformasi menjadi kesalehan publik. Doa dan praktik keagamaan mesti berdampak pada kualitas moralitas publik.

Doa bukan sekadar praktik formal-ritual yang steril terhadap masalah sosial. Agama harus melampaui kesalehan privat dan menjadi sumber inspirasi dalam mengatasi masalah-masalah etika, sosial dan moral yang mendera bangsa (Otto Gusti, Media Indonesia, 11/10/17).

Empati dan Toleransi: Kekuatan Dialog

Di tengah carut-marutnya perwujudan nilai-nilai agama dalam ruang publik ini, kita membutuhkan dialog kehidupan.

Dialog ini tidak hanya terjadi dalam bentuk dialog intelektual seperti pada lembaga-lembaga formal (misalnya FKUB) atau Gerakan Nurani Bangsa (GNB) yang diinisiasi para sesepuh bangsa kita, melainkan mesti sampai pada taraf ‘akar rumput’. Dialog kehidupan mesti menyentuh realitas masyarakat.

Halaman
1234
Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved