Opini

Empati dan Toleransi Beragama Ala Soedjatmoko

Nurani bangsa yang tertuang dalam Pancasila mesti menjadi pedoman bersama, entah dalam bertindak maupun dalam berpikir sebagai bangsa.

|
Editor: Dion DB Putra
unsplash
Ilustrasi. 

Keanekaragaman ini menampilkan ‘wajah ganda’: mengandung potensi, serentak tantangan. Pertama, potensi. Keanekaragaman ini merupakan potensi karena pada titik inilah bangsa Indonesia memiliki kekayaan yang melimpah akan budaya dan dapat menjadikan Indonesia sebagai negara yang khas akan keberagamannya.

Negara yang bhineka tunggal ika. Kekhasan ini apabila dirajut dalam suasana rukun dan adem dari hari ke hari, akan menjadikan Indonesia sebagai negara yang cinta damai. Ibarat mozaik, Indonesia menjadi indah karena dihiasi oleh beragam warna.

Dengan kesadaran akan potensi ini, Indonesia sebagai sebuah nation-state, memiliki kesadaran bersama tentang masa depan bangsa Indonesia yang memegang teguh komitmen akan kesejahteraan bersama (bonum commune).

Konsekuensi logisnya, untuk mewujudkan negara demokratis yang menjunjung tinggi keanekaragaman dengan tujuan kesejahteraan bersama, dibutuhkan kemauan bersama dari setiap individu warga negara.

Kemauan bersama (general will) yang dipahami di sini adalah dasar dan hakikat untuk menata diri secara politis demi perwujudan nilai-nilai kebaikan bersama (bonum commune/common good).

Singkatnya, setiap ‘kemauan politik’ hanya dapat terwujud dengan baik, apabila dilandasi atau digerakkan oleh ‘kemauan bersama’ yang baik dari semua warga negara (Felix Baghi: 2009, hlm. x).

Kedua, tantangan. Tak dapat dimungkiri, meski keanekaragaman dapat menjadikan Indonesia sebagai negara yang indah, keanekaragaman ini mengandung tantangan yang sesewaktu dapat memecah-belah bangsa kita.

Kita bisa saksikan bersama fenomena yang menyeruak akhir-akhir ini di mana bertumbuh-suburnya perasaan sukuisme, tirani agama mayoritas, pengkotak-kotakan tempat tinggal berdasarkan ras, dan masih banyak lagi.

Ada banyak contoh mengenai hal ini, salah satunya kontestasi Pilgub Jakarta 2017. Di sana ada kecemburuan sosial, banyak orang memelintir isu agama dan politik sedemikian rupa sehingga timbul kebencian dari satu pihak ke pihak lainnya (politisasi agama dan agamaisasi politik), adanya pelabelan kepada etnis tertentu, dan masih banyak lagi.

Konsekuensi lanjut adalah terjadinya gesekan dan ‘saling sikut’ antarwarga negara, khususnya pada tingkat ‘akar rumput’. Keberagaman yang sepatutnya dirayakan, diabaikan karena melecehkan kemanusiaan.

Manusia Indonesia, menyitir Felix Baghi, sepatutnya menyadari keberagaman yang ditandai dengan perbedaan ini merupakan sebuah fakta niscaya yang tidak dapat disangkal; sebuah fakta yang mesti disyukuri. Kemajemukan ini seyogianya tidak menjadi alasan untuk melanggengkan diskriminasi (ibid., hlm. xi).

Diskursus Agama di Indonesia

Diskursus mengenai agama selalu menjadi isu yang sexi ketika kita membincangkan keberagaman di Indonesia. Beberapa agama besar sudah “direstui” di Indonesia, seperti Islam, Kristen, dan sebagainya.

Dengan alasan perbedaan agama ini, Indonesia membutuhkan tali perekat bersama agar tidak terjadi gesekan di antara penganut agama yang berbeda. Atau, tali silahturahmi dibutuhkan demi merajut persaudaraan.

Kita bersyukur terbentuknya kelompok-kelompok dialog lintas-agama, seperti Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) dan Gerakan Nurani Bangsa (GNB) membantu setiap manusia Indonesia untuk melihat lebih jauh betapa perbedaan mesti dirayakan bersama. Dengan perkataan lain, meski berbeda, kita mesti tetap merajut persaudaraan.

Halaman
1234
Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved