Opini
Hoaks dan Ujaran Kebencian di Masa Pilpres
Ini akibat dari informasi palsu yang dengan sengaja dibuat dan disebar untuk memanipulasi emosi pengguna media sosial demi menekan rasionalitas.
Oleh: Theodorus Widodo
Ketua Forum Pembauran Kebangsaan FPK-NTT dan Ketua Perhimpunan Indonesia Tionghoa INTI-NTT
POS-KUPANG.COM - Menarik sekali apa yang disampaikan Direktur Pengkajian Ideologi dan Politik Lemhannas Drs. Berlian Helmy, M.Ec dalam papernya "Mengatasi Risiko Politik Pasca Kebenaran (Post-Truth) Guna Menjaga Stabilitas Keamanan Nasional Dalam Rangka Ketahanan Nasional".
Pascakebenaran (Post-truth) adalah suatu era di mana orang sudah sulit memilah antara fakta dan tipuan, antara asli dan palsu, antara berita dan opini, antara jujur dan bohong.
Batas antara kutub kutub ini yang dulunya jelas pada posisi diametral sekarang jadi kabur.
Ini akibat dari informasi palsu yang dengan sengaja dibuat dan disebar untuk memanipulasi emosi pengguna media sosial demi menekan rasionalitas dalam memilah informasi.
Hate speech (ujaran kebencian), hoaks atau fake news atau berita bohong disebar bebas di dunia maya, nyaris tanpa kontrol dan mampu mempengaruhi banyak orang. Hasilnya adalah munculnya era post truth yang sangat berisiko terjadinya kejahatan kemanusiaan.
Hoaks dan hate speech sebetulnya bukan barang baru. Taktik dan strategi kotor demi mencapai suatu tujuan ini sudah terjadi sejak berabad abad bahkan dua ribu tahun yang lalu.
Bedanya dengan era post truth sekarang ini, penyebarannya sangat dipermudah kemajuan teknologi digital. Sarana medsos mampu menyebarkan apa saja ke seluruh dunia dalam tempo sekejap.
Yesus dihukum mati karena hoaks dan ujaran kebencian
Imam imam kepala, ahli ahli taurat dan tua tua adat di Yerusalem berhasil memobilisasi emosi warga di seantero kota dengan kabar bohong dan ujaran kebencian.
Bahwa Yesus bukan Mesias yang dinanti. Bahwa Yesus si anak tukang kayu dari Nazareth ini bukan siapa siapa.
Bahwa Yesus adalah pembohong besar karena mengatakan Ia adalah Mesias, anak Allah yang datang ke dunia untuk membebaskan. Bahwa Yesus adalah penjahat politik yang harus dihukum mati.
Hasilnya luar biasa. Warga kota Yerusalem seketika berang. Mereka jadi begitu membenci Yesus.
Padahal baru beberapa waktu sebelumnya Ia dielu-elukan sebagai "Sang Raja" yang akan membebaskan bangsa Yahudi dari penderitaan, penindasan dan penjajahan.
Terbukti ketika memasuki kota sebelumnya, mereka begitu hormat dan cinta kepada Yesus.
Pakaian dan daun palma dibentangkan di sepanjang jalan yang akan dilewati rombongan diiringi teriakan Hosana bagi putera Daud.
Hoaks dan hate speech yang disebar dalam sekejap berhasil mengubah cinta dan hormat jadi benci dan hinaan. Warga akhirnya berhasil memaksa Pilatus menjatuhkan hukuman mati lewat penyiksaan yang berakhir dengan penyaliban di bukit Golgota.
Rasa hormat dan cinta kepada Sang Guru dan pembuat mujizat ini seketika berubah menjadi kebencian yang luar biasa. Di pengadilan sesat, Pilatus yang tidak menemukan kesalahan pada diri Yesus masih coba mempengaruhi keputusan.
Ia mengambil air dan membasuh tangannya di hadapan orang banyak untuk cuci tangan atas dosa pengadilan sesat ini. Ucapan Pilatus "aku tidak bersalah atas darah orang ini" dengan lantang dan spontan dijawab kerumunan massa dengan teriakan "Biarlah darahNya ditanggungkan atas kami dan anak anak kami".
Hoaks dan hate speech telah menuntaskan kekejaman atas diri anak manusia yang tidak bersalah. Dan semuanya terjadi dalam tempo yang begitu cepat.
Hoaks dan hate speech juga telah menyebabkan enam juta warga Yahudi dibantai tanpa ampun oleh rezim Nazi di bawah komando kanselir Adolf Hitler.
Holocaust terjadi karena Hitler dan rezimnya (baca:negara) berhasil secara massif, sistematis dan terstruktur menciptakan ketakutan di seantero negeri lewat hoaks dan ujaran kebencian.
Bahwa bangsa Yahudi adalah ancaman laten. Bahwa jumlah bangsa Yahudi yang semakin besar ini sangat berbahaya bagi eksistensi ras Aria, kasta tertinggi di muka bumi. Aria harus dimurnikan dari Yahudi. Alhasil terjadilah fenomena yang sangat mengerikan.
Tetangga yang dulunya hidup berdampingan baik baik saling tolong menolong sekarang bukan lagi tetangga, bahkan bukan lagi manusia. Mereka tidak layak hidup dan harus dilenyapkan dari muka bumi.
Sahabat yang dulu pernah menolong dikala susah, sekarang bukan lagi sahabat bahkan bukan lagi manusia dan harus dihabisi.
Tidak ada hutang budi di sana. Mereka layak mati karena mereka Yahudi. Si gadis Yahudi kecil Leah Chaya yang meminta dikasihani tetap saja diseret tanpa ampun oleh tentara Nazi masuk ke dalam kamar gas untuk dieksekusi mati.
Kamp konsentrasi Auschwitz-Birkenau adalah saksi bisu kejahatan kemanusiaan paling mengerikan dalam sejarah peradaban manusia. Di situ hampir satu juta warga Yahudi tua muda besar kecil tak bersalah dibunuh secara biadab. Mereka tewas dengan cara disekap dalam kamar gas.
Pembantaian ini bahkan merambah sampai ke kaum Gipsi (Roma), Slavia (Polandia, Rusia dan sebagainya). Patung 82 bocah di desa Lidice Chekoslovakia mengingatkan para pengunjung betapa kejamnya tentara Jerman yang mengakhiri hidup 82 bocah tak berdosa dengan berondongan senapan mesin.
Hoaks dan ujaran kebencian telah berhasil menciptakan perang dunia kedua maha dasyat dengan korban lebih dari 50 juta jiwa.
Rwanda 7 April 1994
Hoaks atau kabar bohong dan ujaran kebencian kembali makan korban. Sejarah mencatat tragedi kemanusiaan yang sangat mengerikan. Di sana terjadi genosida.
Pembunuhan besar-besaran oleh suku Hutu yang mayoritas terhadap saudara sebangsanya suku Tutsi yang minoritas.
Ini terjadi akibat hoax dan hate speech yang disebar organisasi paramiliter Hutu Interahamwe. Bahwa mantan presiden mereka Juvénal Habyarimana yang Hutu dan rekannya Presiden Burundi Cyprien Ntaryamira tewas ditembak kelompok bersenjata Tutsi pada malam 6 April 1994.
Penembakan terjadi di atas pesawat yang ditumpangi kedua pemimpin itu. Kabar bohong dan ujaran kebencianpun disebar cepat dan masif ke seluruh Rwanda dengan tujuan satu. Ethnic cleansing atas suku Tutsi.
Akibatnya sangat mengerikan. Dalam tempo 100 hari sejak 7 April terjadi pembantaian dengan korban lebih dari 800.000 jiwa. Tua muda besar kecil suku Tutsi dan Hutu moderat dihabisi dengan cara sangat sadis.
Ditembak, dipenggal, dipukul pakai pentungan dan dibakar hidup hidup. Ini kejahatan kemanusiaan terbesar setelah Perang Dunia II.
Beberapa kejahatan kemanusian di atas barangkali hanya contoh akibat ekstrem dari hoaks dan ujaran kebencian.
Namun dalam skala tertentu tidak berlebihan kalau dikatakan kita juga saat ini tengah berada dalam era post truth dengan hoaks dan ujaran kebencian yang bebas berseliweran di dunia maya.
Demi memenangkan paslonnya, tim sukses dan para pendukung berani menghalalkan segala cara. Kabar bohong disebar terus-menerus secara masif dengan hasil akhir kebohongan itu diterima sebagai sebuah kebenaran.
Hoaks dan ujaran kebencian disebar demi memenangkan paslon yang didukung tanpa peduli pada akibat yang bisa timbul setelah Pilpres nanti. Rusaknya harmoni dan konflik di akar rumput bukan soal bagi mereka.
Untuk itu bagi kita yang masih waras, mari, jangan tinggal diam. Hentikan hoaks dan ujaran kebencian ini. Sebelum segalanya terlambat. (*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.