Opini

Opini Yahya Ado: Pendidikan NTT di Jurang Kematian

Setelah pro-kontra sekolah pukul lima pagi yang sensasional dan entah  di mana rimbanya, kini masalah lain muncul ke permukaan.

Editor: Ryan Nong
POS-KUPANG.COM/ISTIMEWA
ILustrasi - Opini pendidikan NTT di jurang kematian. 

Jadi kita tidak hanya bicara soal di sistem. Sangat besar soal kita adalah di rana mental. Kita terjebak urus di permukaan, sedang di dalam sudah bernanah.

Kondisi keterpurukan ini adalah tanda-tanda keterbelakangan yang dipiara subur di dunia pendidikan kita. Maka jangan heran, kita tetap memanen kemiskinan, keterbelakangan, dan kemelaratan dari satu musim ke musim berikutnya. Karena kita tidak pernah bergeser ke kualitas, dan hanya sibuk mengurus kuantitas demi kepentingan-kepentingan. 

Solusi Kebijakan dan Kebijaksanaan

Kita perlu mencari solusi-solusi sebelum mobil yang kita tumpangi bernama Pendidikan ini oleng dan terbanting di jurang kehancuran: 

Pertama, mandat negara adalah mencerdaskan kehidupan berbangsa. Pendidikan bukan ajang politik dan apalagi bisnis. Bukan membedakan sekolah negeri dan swasta. Karena tidak ada anak negeri dan swasta. Pendidikan adalah bicara masa depan semua anak bangsa. Kita tidak bisa hanya bicara soal rupiah. Dan sebaiknya tidak perlu.

Kita harus bicara esensi pendidikan itu. Bicara soal falsafah belajar. Bicara tentang pola pikir, tentang kesenangan belajar, tentang pembelajaan sepanjang hayat, tentang kehidupan, kemanusiaan dan kebenaran hakiki secara merdeka. Sebab Pendidikan terbaik adalah keteladanan. 

Kedua, Kebijakan PPDB dan Zonasi perlu ditarik ke titik simpul untuk penentuan jumlah siswa dan rombel yang wajar. Sebab pengalaman membuktikan, sistem zonasi hanya mempertimbangkan jarak semata. Sedang sekolah tetap bersaing menunjukan diri yang terbaik.

Padahal kembali lagi, sistem zonasi sebenarnya untuk menyamaratakan kualitas. Tidak ada lagi sekolah favorit. Tetapi kenyataan jauh panggang dari api. Persaingan antar sekolah terus subur, didukung dengan kegiatan-kegiatan perlombaan antar sekolah yang acap kali memicu hal lain. Maka itu, kita perlu kebijaksanaan untuk menjalani kebijakan. Termasuk untuk memperhatikan keberlanjutan sekolah-sekolah swasta. 

Ketiga, Disdikbud provinsi nantinya harus kontrol data di Dapodik masing-masing sekolah. Jika ada rombel yang melebihi batas siswa maksimal 36 anak untuk SMA/SMK, maka harus ada kebijakan berani untuk mengeluarakan kelebihan siswa. Ini baru kita omong kualitas pendidikan. Bukan sekedar kuantitas belaka.

Jumlah siswa terbaik dalam satu rombel sebaiknya tidak mencapai angka maksimal. Karena perubahan cara belajar, perlu menyiapkan anak untuk bisa berpikir dengan benar. Apalagi kita baru saja keluar dari pandemic Covid-19 yang sangat mengganggu fisik dan psikis. Kita harus menyiapkan generasi untuk hidup dengan bermakna di bonus demografi. 

Pendidikan di NTT sedang berada di ujung maut. Kita sedang tidak baik-baik saja. Memilih mati atau melanjutkan hidup adalah dua pilihan yang sama beratnya. Jurang ini teramatlah dalam. Tetapi kita masih terjebak, Nanti Tuhan Tolong. Padahal Tuhan mau kita berteriak; melawan bersama-sama atau mati bersama-sama! (Penulis adalah seorang praktisi pendidikan dan Anggota Forum Akademia NTT)

Ikuti berita terbaru POS-KUPANG.COM lainnya di GOOGLE NEWS

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved