Opini
Opini Yahya Ado: Pendidikan NTT di Jurang Kematian
Setelah pro-kontra sekolah pukul lima pagi yang sensasional dan entah di mana rimbanya, kini masalah lain muncul ke permukaan.
POS-KUPANG.COM - Lagi-lagi, Nusa Tenggara Timur (NTT) darurat kebijakan pendidikan. Setelah pro-kontra sekolah pukul lima pagi yang sensasional dan entah di mana rimbanya, kini masalah lain muncul ke permukaan.
Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) Tahun Pelajaran 2023/2024 dengan sistem zonasi dan quota yang sangat tidak adil, hadir menutupi ruang gelap wajah pendidikan di NTT.
Bayangkan, sekolah-sekolah negeri setingkat SMA/SMK sampai melakukan penerimaan bertahap-tahap. Bahkan sekolah-sekolah tersebut mencapai jumlah siswa yang sensasional. Jika ambang batas rombongan belajar setingkat SMA/SMK di NTT hanya dibatasi 12 rombel (rombongan belajar) dengan jumlah maksimal 36 siswa per rombel.
Jika demikian seyogyanya maksimal siswa hanya 432 jumlah siswa. Celakanya, ada sekolah yang bisa mencapai 500 siswa baru. Sebuah angka di luar batas wajar. Di sisi yang lain, sekolah swasta berada di nadir terakhir, antara hidup enggan mati tak mau karena ketiadaan siswa yang mendaftar.
Tentu saja kondisi ini memperpuruk kisah pilu pendidikan kita di NTT. Pendidikan yang harusnya menjadi salah satu barometer kemajuan daerah, malah terperangkap dalam dimensi sesat yang direkayasa.
Kuota siswa pasti ditentutan oleh instansi berwenang, dalam hal ini Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud). Untuk tingkat SMA/SMK oleh Disdikbud provinsi. Dan apakah ada niatan untuk meluluhlantakan sekolah swasta atau mungkinkah ada udang di balik batu?
Baca juga: Polemik Uang Kuliah Tunggal, Kepala Dinas Pendidikan NTT: Undana Jangan Terjebak Kapitalis Akademik
Baca juga: George Hadjoh Dorong Guru Muda di Kota Kupang Lanjutkan Pendidikan Lebih Tinggi
Ada udang di balik batu
Mari kita coba berhitung-hitung. Anggap saja kita sedang ‘berbisnis’ di sekolah. Bisnis yang pasti mencari keuntungan, walau secara sadar, ini menjerumuskan masa depan generasi.
Asumsinya begini. Bila per siswa mendapat dana BOS (Biaya Operasional Sekolah) per tahun adalah Rp. 1.500.000 maka dengan 500 siswa baru saja, sekolah akan menerima dana sebesar Rp. 750.000.000. Angka yang sangat menggiurkan. Belum ditambah siswa dua tingkat di atasnya.
Bila jumlahnya sama, maka bisa mencapai 1.500 anak dikali jatah Bos tadi, maka setiap tahun, sekolah akan memanen hasil ‘bisnisnya’ sekira Rp. 2.250.000.000. Kurang lebih dua milyar rupiah. Angka yang sangat fantastik.
Dinamika penerimaan siswa baru lain pun terjadi di tingkat Sekolah Dasar (SD) bahkan Sekolah Menengah Pertama (SMP). SD kita di NTT bahkan berani menerima siswa di usia 5 tahun dan 6 bulan. Usia yang seharusnya masih bermain di PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini). Sebab usia matang SD adalah 7 tahun, atau minimal 6 tahun.
Usia 5 tahun 10 bulan pun harus melalui rekomendasi psikologis. Boleh jadi ada tendensi lain. Dan moga-moga bukan sekedar hitungan angka matematis di atas.
Baca juga: Puluhan Pelajar Terima Dana Tabungan Pendidikan di Puncak HUT KEBBO UMA Kupang
Baca juga: Opini Yahya Ado: Seandainya Saya Gubernur NTT
Keterpurukan Mental
Kenyataan lain, orang tua siswa bersih keras anaknya harus sekolah di negeri. Meski kuota yang terbatas dengan persaingan yang ketat. Sistem zonasi cukup membantu orang tua untuk memastikan anak-ananya bisa sekolah di sekolah negeri terdekat.
Sistem zonasi juga meminimalisir persaingan sekolah. Semua sekolah diharapkan menerapkan standar yang sama dan berkualitas. Sayangnya, titip menitip jatah siswa di sekolah negeri juga aduhai rasanya.
Jadi kita tidak hanya bicara soal di sistem. Sangat besar soal kita adalah di rana mental. Kita terjebak urus di permukaan, sedang di dalam sudah bernanah.
Kondisi keterpurukan ini adalah tanda-tanda keterbelakangan yang dipiara subur di dunia pendidikan kita. Maka jangan heran, kita tetap memanen kemiskinan, keterbelakangan, dan kemelaratan dari satu musim ke musim berikutnya. Karena kita tidak pernah bergeser ke kualitas, dan hanya sibuk mengurus kuantitas demi kepentingan-kepentingan.
Solusi Kebijakan dan Kebijaksanaan
Kita perlu mencari solusi-solusi sebelum mobil yang kita tumpangi bernama Pendidikan ini oleng dan terbanting di jurang kehancuran:
Pertama, mandat negara adalah mencerdaskan kehidupan berbangsa. Pendidikan bukan ajang politik dan apalagi bisnis. Bukan membedakan sekolah negeri dan swasta. Karena tidak ada anak negeri dan swasta. Pendidikan adalah bicara masa depan semua anak bangsa. Kita tidak bisa hanya bicara soal rupiah. Dan sebaiknya tidak perlu.
Kita harus bicara esensi pendidikan itu. Bicara soal falsafah belajar. Bicara tentang pola pikir, tentang kesenangan belajar, tentang pembelajaan sepanjang hayat, tentang kehidupan, kemanusiaan dan kebenaran hakiki secara merdeka. Sebab Pendidikan terbaik adalah keteladanan.
Kedua, Kebijakan PPDB dan Zonasi perlu ditarik ke titik simpul untuk penentuan jumlah siswa dan rombel yang wajar. Sebab pengalaman membuktikan, sistem zonasi hanya mempertimbangkan jarak semata. Sedang sekolah tetap bersaing menunjukan diri yang terbaik.
Padahal kembali lagi, sistem zonasi sebenarnya untuk menyamaratakan kualitas. Tidak ada lagi sekolah favorit. Tetapi kenyataan jauh panggang dari api. Persaingan antar sekolah terus subur, didukung dengan kegiatan-kegiatan perlombaan antar sekolah yang acap kali memicu hal lain. Maka itu, kita perlu kebijaksanaan untuk menjalani kebijakan. Termasuk untuk memperhatikan keberlanjutan sekolah-sekolah swasta.
Ketiga, Disdikbud provinsi nantinya harus kontrol data di Dapodik masing-masing sekolah. Jika ada rombel yang melebihi batas siswa maksimal 36 anak untuk SMA/SMK, maka harus ada kebijakan berani untuk mengeluarakan kelebihan siswa. Ini baru kita omong kualitas pendidikan. Bukan sekedar kuantitas belaka.
Jumlah siswa terbaik dalam satu rombel sebaiknya tidak mencapai angka maksimal. Karena perubahan cara belajar, perlu menyiapkan anak untuk bisa berpikir dengan benar. Apalagi kita baru saja keluar dari pandemic Covid-19 yang sangat mengganggu fisik dan psikis. Kita harus menyiapkan generasi untuk hidup dengan bermakna di bonus demografi.
Pendidikan di NTT sedang berada di ujung maut. Kita sedang tidak baik-baik saja. Memilih mati atau melanjutkan hidup adalah dua pilihan yang sama beratnya. Jurang ini teramatlah dalam. Tetapi kita masih terjebak, Nanti Tuhan Tolong. Padahal Tuhan mau kita berteriak; melawan bersama-sama atau mati bersama-sama! (Penulis adalah seorang praktisi pendidikan dan Anggota Forum Akademia NTT)
Ikuti berita terbaru POS-KUPANG.COM lainnya di GOOGLE NEWS
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.