Berita Lembata

Truk-F Minta Polres Lembata Pakai UU TPKS Untuk Kasus Kekerasan Seksual

Suster Fransiska Imakulata melihat aparat penegak hukum dalam hal ini pihak kepolisian masih menggunakan Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014

Penulis: Ricardus Wawo | Editor: Eflin Rote
Ilustrasi
ILustrasi- Kasus kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur 

Laporan Reporter POS-KUPANG.COM, Ricko Wawo

POS-KUPANG.COM, LEWOLEBA - Direktur Tim Relawan Untuk Kemanusiaan Flores atau Truk-F, Suster Fransiska Imakulata, SSpS, meminta Polres Lembata untuk menggunakan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang tindak pidana kekerasan seksual (TPKS) dalam menangani kasus kekerasan seksual terhadap anak yang sedang mereka tangani.

Selama ini di beberapa daerah, Suster Fransiska Imakulata melihat aparat penegak hukum dalam hal ini pihak kepolisian masih menggunakan Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dalam menangani kasus kekerasan seksual terhadap anak.

Dia mengatakan hal ini kepada wartawan pasa Selasa, 11 Juli 2023. Saat ini Truk-F sedang mendampingi seorang anak korban kekerasan seksual di Kabupaten Lembata yang melibatkan lima pelaku yang saat ini sedang menjalani pemeriksaan di Polres Lembata.

Baca juga: Sinyal Internet Jadi Tantangan Pemilu 2024 di Lembata

Menurut Suster Fransiska, hadirnya Undang-undang TPKS menjawab kerumitan proses pendampingan dan pemulihan korban kekerasan seksual.

"Memang dalam hal ini korbannya anak di bawah umur dan yang sering digunakan itu kan undang-undang perlindungan anak. Tapi dalam konteks kasus yang kita dampingi saat ini di Lembata, itu kasus kejahatan yang luar biasa karena pelakunya itu lebih dari satu dan kami mengharapkan penegak hukum menerapkan Undang-undang TPKS," kata Suster Fransiska.

Bukan tanpa alasan, Suster Fransiska membeberkan beberapa alasan kenapa UU TPKS ini perlu diterapkan pihak kepolisian, satu di antaranya adalah UU ini mengharuskan hak-hak pemulihan korban diperhatikan.

"Itu berupa restitusi sejumlah denda atau pembayaran kerugian materil maupun immateril terhadap korban yang harus dibayarkan oleh pelaku. Lalu kemudian rehabilitasi itu juga tidak hanya untuk korban tetapi juga sekaligus untuk pelaku juga," ungkap Suster Fransiska.

Baca juga: Tiga Kelompok Masyarakat di Lembata Deklarasi Cak Imin Jadi Presiden

Suster Fransiska menjelaskan bahwa selama ini penegakan umum mengharuskan saksi merupakan orang yang melihat dan mendengarkan secara langsung kejadian tersebut. Tapi UU TPKS memberikan ruang bahwa orang yang hanya mendengar, tapi keterangannya merujuk dan mengarah ke tindak pidana yang benar-benar terjadi, bisa dijadikan saksi.

"Lalu proses penegakan hukum kita kan minimal dua alat bukti. Dan alat bukti yang selama ini kita kenal barang bukti misalnya pakaian, itu bisa menjadi alat bukti (di dalam UU TPSK)," ucapnya.

Suster Fransiska menjelaskan dengan menggunakan UU TPKS, bukan berarti penegak hukum mengabaikan UU Perlindungan Anak. 

Baca juga: Himpunan UMKM Lembata Gelar Expo pada September 2023

"UU Perlindungan Anak itu tetap digunakan. Memang kami dalam hal ini Lembaga Tim Relawan Untuk Kemanusiaan, kita punya jaringan kerja cukup luas di Indonesia dan selama ini pengalaman teman-teman dalam pendampingan itu bisa dijuntokan dan itu lebih memberatkan pelaku," paparnya. 

"Dan apalagi ini UU TPKS dia mengatur bahwa apabila kekerasan seksual itu menimpa anak di bawah umur maka pidana penjara ditambah sepertiga," ujar Fransiska menutup pembicaraan. (*)

Ikuti Berita POS-KUPANG.COM Lain di GOOGLE NEWS

Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved