Opini
Opini Prof Dr Alo Liliweri: Akankah Nama WJ Lalamentik Harus Terhapus dalam Memori Kolektif Kita?
Pemerintah Kota (Pemkot) Kupang mengubah nama jalan WJ Lalamentik menjadi jalan Brigadir Jendral (Brigjen) Iman Budiman.
Sebagian besar jalan diberi nama menurut angka, lanskap, pohon (kombinasi pohon dan lanskap seperti "Oakhill" yang sering digunakan di daerah pemukiman). Atau nama keluarga dari individu penting (dalam beberapa kasus, hanya nama keluarga yang umum dipegang seperti Smith).
Beberapa jalan, seperti Elm Street di East Machias, Maine, telah diganti namanya karena perubahan fitur. Nama baru Elm Street, Jacksonville Road, dipilih karena mengarah ke desa Jacksonville.
Sementara itu dalam kasus tertentu ada gabungan antara todonim dan hodonim,di mana nama jalan diberikan dalam dua cara; nama individu yang dikenal sebagai spesifik, dan indikator jenis jalan, yang dikenal sebagai generik. Contohnya adalah "Main Road", "Fleet Street", dan "Park Avenue".
Soal penggantian nama jalan, menurut saya, bukan sekadar dapat dilakukan berdasarkan formalitas suatu SK pejabat berwewenang, atau sekadar berdasarkan peraturan dan per-UU.
Tapi sejak awal seharusnya mempertimbangkan dan sudah sepantasnya memperhatikan latar belakang sosial-politik dan sosial budaya dari todomi dan hodomi itu.
Baca juga: Opini Bernadus Badj: Konsep Pembangun dalam Perspektif Peter L Berger
Penetapan jalan WJ Lalamentik itu dapat dipastikan jauh sebelum semua peraturan dan per-UU kita ini dibuat. Artinya apa yang dilakukan para pendahulu kita (paling tidak sebelum Perda Kota Kupang, 1997) adalah “perbuatan sejarah”.
Sejarah untuk mengingatkan kita, dengan mencatat nama Lalamentik itu dalam memori kolektif kita orang NTT, kita orang Flobamora yang selalu dikenal toleran, beradab dan berdudi luhur itu. Catatan sejarah itu secara fisik atas nama Jalan WJ Lalamentik. Artinya dengan memberikan status hodomi sepanjang 1.9 km itu menjadi todomi.
Cynthia Resor (2020) dalam “Collective Memory: How Do Memories of the Past Inform Our Future?”mengatakan, soal memori kolektif tentang bagaimana sekelompok orang mengingat (bahkan untuk melupakan masa lalu), melalui simbolis nama jalan, gedung dan bangunan, lagu dan tarian, arsip dan museum, seragam atau tanda-tanda tertentu.
Orang Cina, misalnya, mengingat abad penghinaan, sementara orang Amerika mengingat peristiwa 9/11 demi peristiwa selanjutnya, dan orang-orang dari banyak negara mengingat era Perang Dunia II.
Yang pasti, memori kolektif juga dapat muncul di tingkat yang lebih lokal. Mengapa ingatan kolektif itu penting? Karena dengan simbol-simbol kenangan ini membantu kita membentuk narasi local, regional dan nasional tentang mengapa sesuatu terjadi dan bagaimana masalah di masa sekarang dan masa depan harus diselesaikan.
Seolah Perpustakan Terbakar?
Ketika menulis artikel ini, saya teringat wawancara kami bertiga, alm Egie Didoek, Ignas Kulas. Kami ditugaskan DPD I KNPI NTT menulis buku : 25 Tahun NTT, apa Kata mereka?
Kami bertemu alm WJ Lalamentik tahun 1984 di Hotel Astiti Kupang. Artikel tentang WJ Lalamentik ini kami beri judul, “Sebuah Nostalgia Nusa Tenggara Timur Di Masaku”.
Sebagai tulisan, maka tulisan itu menjadi arsip. Arsip itu tempatnya di perpustakaan, juga bisa ada dalam symbol lain, termasuk nama jalan yang membetuk memori kolektif kita.
Perkenankan saya membuka sepotong arsip ini untuk kita baca bersama-sama. Inilah pidato pertama WJ Lalamentik ketika dilantik mejadi Gubernur pertama NTT tahun 1958 (dengan ejaan lama).
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.