Berita NTT

Pajak dan Retribusi Daerah Jadi Topik Analisis dan Evaluasi Kemenkumham NTT Tahun 2023

jangan sampai terhambat karena nilai pajak yang harus dibayar terlalu besar.Penetapan nilai sebenarnya juga harus diperhitungkan

Editor: Rosalina Woso
POS-KUPANG.COM/HO
RAPAT - Rapat Persiapan Pelaksanaan Analisis dan Evaluasi Hukum Tahun 2023 yang dipimpin Kepala Bidang Hukum, Yunus P.S. Bureni 

Laporan Reporter POS-KUPANG.COM, Irfan Hoi

POS-KUPANG.COM, KUPANG -Pajak Daerah dan Retribusi Daerah menjadi topik Analisis dan Evaluasi Hukum yang diangkat Kanwil Kemenkumham NTT pada tahun 2023. 

Topik ini disepakati dalam Rapat Persiapan Pelaksanaan Analisis dan Evaluasi Hukum Tahun 2023 yang dipimpin Kepala Bidang Hukum, Yunus P.S. Bureni di Ruang Multi Fungsi, Jumat 20 Januari 2023. 

“Topik Pajak Daerah dan Retribusi Daerah ini bisa dikaitkan dengan upaya meningkatkan gairah investasi di daerah,” ujar Yunus yang juga Koordinator Perancang Peraturan Perundang-undangan.

Baca juga: Sirkulasi Siklonik Perairan Barat Australia Picu Hujan Ringan hingga Lebat di NTT 

Menurutnya, keterkaitan ini tidak lepas dari adanya dua persepektif mengenai pajak dan retribusi. Di satu sisi, ada persepektif yang menyatakan bahwa semakin tinggi nilai pajak dan retribusi, maka akan berkorelasi pada besarnya Pendapatan Asli Daerah atau PAD. 

Di sisi lain, ada pula persepektif baru yang “kontra” karena menyatakan bahwa semakin tinggi nilai pajak dan retribusi, justru menimbulkan resistensi dari Wajib Pajak dan Wajib Retribusi untuk membayar pajak dan retribusi sehingga mengakibatkan loss pendapatan. 

Sementara investasi sebaiknya jangan sampai terhambat karena nilai pajak yang harus dibayar terlalu besar.
Penetapan nilai sebenarnya juga harus diperhitungkan secara baik. 

"Kalau kita lihat di Perda Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang ada selama ini, memang yang selalu dipakai itu tarif tertinggi padahal ekonomi sedang melemah. Harusnya ada kebijakan pajak itu tidak memberatkan,” jelas Yunus.

Lebih lanjut dikatakan, Pemerintah Daerah Kabupaten/kota saat ini juga tidak bisa melakukan pemungutan PAD secara optimal. 

Mengingat, ada kontradiksi yang muncul pada pasal ketentuan peralihan dan ketentuan penutup di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang juga merubah ketentuan di dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Baca juga: Cuaca Hari Ini, BMKG Beri Peringatan 7 Daerah di NTT Waspada Hujan Petir dan Angin Kencang Hari Ini

Salah satu dampaknya yakni perubahan nomenklatur IMB menjadi Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) yang membuat Pemerintah Daerah kesulitan memungut retribusinya.

“Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 sudah tidak mengenal IMB lagi sehingga tidak ada dasar untuk memungut. Tapi kalau Pemerintah Daerah memungut PBG, Perda-nya juga tidak ada,” terang Yunus.

Setelah menyepakati topik, Yunus kemudian memaparkan tiga instrumen Analisis dan Evaluasi Hukum. Instrumen 1 mengenai evaluasi efektivitas pelaksanaan Perda, instrumen 2 mengenai dampak dan/atau kemanfaatan pelaksanaan Perda, dan instrumen 3 mengenai 6 dimensi Perda. 

Langkah-langkah Analisis dan Evaluasi Hukum diawali dengan menginventarisasi peraturan perundang-undangan termasuk Perda terkait Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. 

Setelah itu dilakukan analisis menggunakan 6 dimensi, yakni Dimensi Pancasila; Dimensi Ketepatan Jenis Peraturan Perundang-Undangan; Dimensi Potensi Disharmoni Pengaturan; Dimensi Kejelasan Rumusan; Dimensi Kesesuaian Norma dengan Asas Materi Muatan.

Baca juga: Ongkos Naik Haji Rp 69 Juta Baru Usulan, Ditetapkan Paling Lambat 14 Februari

Halaman
12
Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved