Opini
Pendidikan Karakter Minus Keteladanan
Tulisan ini secara khusus membidik inkonsistensi sikap, perilaku, ucapan dan dalam arti tertentu juga ‘cara berpikir’ sebagian elite, tokoh
Contoh lain yang tak kalah hebohnya juga adalah tokoh Anas Urbaningrum, mantan Ketua Umum Partai Demokrat, yang dengan gagah berani menyatakan kesediaannya digantung di Monas. “Saya yakin. Yakin. Satu Rupiah saja Anas korupsi di Hambalang, gantung Anas di Monas,” ujar Anas di Kantor DPP Demokrat, Jakarta Pusat (Kompas.com 9/3/2012).
Sedangkan contoh lain untuk cara yang legal dapat dilihat dalam upaya pelemahan KPK yang tampil dalam berbagai bentuk. Terkait gejala pelamahan KPK, Mochammad Nurhasim, Peneliti Politik LIPI, membagi periode paradigma KPK menjadi dua tahap. Pertama, periode 2002-2017: KPK sebagai institusi independen. Kedua, periode 2019-2021: KPK menjadi bagian dari Pemerintah (Gatracom. 3/6/2021).
Selanjutnya, Mochammad Nurhasim membeberkan beberapa contoh kasus dalam upaya pelemahan KPK di antaranya pemberhentian sementara Ketua KPK Antasari Azhar pada tahun 2009, tindakan sebagian besar anggota Komisi III DPR periode 2004-2009 yang meminta KPK untuk cuti penyidikan dan penuntutan, kasus Cicak vs Buaya (KPK vs POLRI), kriminalisasi pimpinan KPK (Bibit Samad Rianto dan Chandra Hamzah), sejumlah aksi kekerasan terhadap Novel Baswedan (Penyidik KPK), kasus kekalahan KPK atas Budi Gunawan, perubahan UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK diganti dengan UU Nomor 19 Tahun 2019, Tes Wawasan Kebangsaan pegawai KPK.
Di bidang pendidikan. Ketika terjadi polemik terkait Ujian Nasional (UN). Dalam artikel berjudul “Pendidikan Karakter dan UN” (Kompas 7/12/2016) Guru Besar Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, Syamsul Rizal, mengutip Kompas (28/11/2016), Mendikbud Muhadjir Effendy menyatakan, ada tiga opsi yang disiapkan terkati UN yaitu penghapusan UN dari sistem pendidikan, penghentian sementara UN pada 2017, dan tetap menjalankan UN dengan teknis pelaksanaan diserahkan ke daerah.
Lebih lanjut diberitakan pula, sejumlah organisasi guru mendukung moratorium UN. Sebab “Anak-anak belajar tidak jujur akibat UN. Kami mendukung moratorium,” kata Retno Listyarti, Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia.
Terkait ketidakjujuran akibat UN, Kompas.com (10/4/2017) memberitakan, Kemendikbud menerima 17 laporan pengaduan tentang kebocoran soal UN.
Pernyataan yang bertolakbelakang dengan sikap mendukung moratorium UN adalah pernyataan Wapres Jusuf Kalla yang menilai, UN masih diperlukan untuk dijadikan standar penilaian. “Kalau tidak ada standar, bagaimana mengetahui kita sampai di mana,” ujar Kalla (Kompas 28/11/2016).
Lalu di bidang agama. Editorial mediaindonesia.com (20/3/2020) menyoroti dua kegiatan keagamaan yang tetap diselenggarakan di kala dunia menghindari kerumunan demi mencegah penyebaran virus Covid-19. Dua ritual keagamaan itu adalah penyelenggaraan Ijtima Ulama Dunia di Kompleks Darul Ulum, Gowa, Sulawesi Selatan dan misa penahbisan Uskup Ruteng di Manggarai, Nusa Tenggara Timur.
Walau akhirnya penyelenggaraan Ijtima Ulama Dunia itu dibatalkan, namun ribuan peserta sudah berdatangan (mediaindonesia.com 18/3/2020). Sementara misa penahbisan Uskup Ruteng tetap diselenggarakan meski pihak penyelenggara memeriksa temperatur suhu tubuh peserta dan memberikan mereka cairan pembersih tangan.
Pendidikan Karakter dan Keteladanan saling mengandaikan
Berdasarkan contoh-contoh kasus di atas, tak diragukan lagi kompetensi dan kapabilitas para elite tersebut. Mereka bukan hanya mempunyai ilmu yang mumpuni, tetapi juga kekuasaan dan pengaruh. Mereka juga memiliki popularitas. Mereka sungguh memahami dengan baik Pendidikan Karakter. Mereka pintar berpidato. Mereka lantang berkotbah. Mereka pandai berceramah dan menjadi nara sumber dalam berbagai acara. Mereka terampil dalam retorika. Penampilannya memukau dan senyumnya memesona banyak orang.
Dalam bahasa Haryatmoko, “Pengetahuan, kepiawaian berbicara dan kedudukan, tidak (dengan sendirinya) menjamin konsistensi dalam tindakan. Antara “tahu” dan “bisa melakukan” itu masih ada jarak yang dalam.” (Haryatmoko, 2003, hal. 126)
Namun fakta menunjukkan sebaliknya. Keteladanan yang diperlihatkan dalam hal kepatuhan dan ketaatan tidak linier dengan kompetensi dan kapabilitas yang dimiliki. Seolah-olah mereka mendapat privilese dan diperlakukan sebagai kelompok khusus yang tidak perlu tunduk pada aturan hukum dan asas moral. Seakan-akan kepatuhan dan ketaatan itu hanya berlaku bagi kawula.
Maka dari itu, Pendidikan Karakter tanpa keteladanan adalah mustahil. Sebab menurut Syamsul Rizal, Pendidikan Karakter adalah ajaran tentang nilai-nilai inti (core values) yang secara umum mempunyai sifat-sifat: layak dipercaya (trust worthiness), saling menghormati (respect), bertanggung jawab (responsibility), bersikap adil (fairness), merasa senasib dan peduli (caring), dan menjadi warga negara yang baik (citizenship) (Kompas 7/12/2016).
Sifat-sifat tersebut, demikian Syamsul Rizal, masih terlalu abstrak. Dengan kata lain Pendidikan Karakter adalah sebuah konsep yang sangat abstrak. Oleh karena itu, nilai-nilai inti dalam Pendidikan Karakter mesti dihidupi dalam keseharian hidup baik di dalam lingkungan keluarga, sekolah, kantor, masyarakat, maupun dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Nilai-nilai itu mesti diamalkan, tidak cukup hanya diajarkan.
Dengan demikian Pendidikan Karakter hanya menemukan kedalaman maknanya dalam keteladanan. Pendidikan Karakter dan keteladanan ibarat dua sisi mata uang yang sama. Pendidikan Karakter yang mengabaikan keteladanan seperti membangun rumah di atas pasir. Keteladanan yang menafikan Pendidikan Karakter seumpama rumah tanpa atap. Keduanya saling mengandaikan, tidak dapat saling meniadakan.
Di negeri ini banyak orang pintar (baca: berilmu) namun cuma sedikit yang memiliki keberanian menunjukkan keteladanan (baca: berkarakter). Maka tidaklah heran ketika Joko Widodo terpilih sebagai Presiden dalam Pemilu 2014, menakhodai Negara ini dengan gaya kepemimpinan yang merakyat, banyak orang memberi apresiasi. Namun itu tidak berarti harus ditambah lagi satu periode atau diperpanjang masa jabatannya. Karena dengan itu, dia sendiri menggugurkan gagasan Revolusi Mental-nya.*
(Arnoldus Nggorong adalah pegiat sosial, alumnus STFK Ledalero, alumnus Sekolah Demokrasi Mabar 2013 yang dikembangkan Sosiolog Ignas Kleden [Direktur KID: Komunitas Indonesia untuk Demokrasi], tinggal di Labuan Bajo)