Opini
Pendidikan Karakter Minus Keteladanan
Tulisan ini secara khusus membidik inkonsistensi sikap, perilaku, ucapan dan dalam arti tertentu juga ‘cara berpikir’ sebagian elite, tokoh
Maksud tulisan ini
Dalam tulisan ini saya tidak memfokuskan perhatian pada menjawab sejumlah pertanyaan yang dikemukakan di atas. Sebab hal itu, sekali lagi, di luar jangkauan kompetensi dan kewenangan saya. Pun tidak memberikan pembahasan yang memadai tentang sikap penolakan terhadap kedua isu tersebut. Sebab sejumlah aktivis dan para pakar termasuk ahli Hukum Tata Negara sudah memberikan penjelasan dan pendapatnya masing-masing.
Tulisan ini secara khusus membidik inkonsistensi sikap, perilaku, ucapan dan dalam arti tertentu juga ‘cara berpikir’ sebagian elite, tokoh, publik figur baik di tingkat pusat maupun daerah. Inkonsistensi yang dimaksudkan di sini lebih kepada ketidakserasian sikap, perilaku, ucapan dan ‘cara berpikir’ di antara satu dengan yang lainnya. Pada suatu kesempatan mereka bisa berbicara dan bertindak lain dan di lain waktu mereka pun boleh berkata dan bertindak lain lagi.
Dirumuskan dalam bahasa sederhana, mereka dapat mengemukakan apa saja seturut kemauannya sendiri, entah itu nanti berdampak pada kemelut atau konflik di tengah masyarakat, itu bukan urusannya. Yang penting adalah hasratnya untuk berbicara tersalur. It’s no business. Seolah-olah mereka berada ‘di luar’ tanggung jawab moral atas risiko dari apa yang mereka katakan dan/atau lakukan.
Di sini saya memilih memberi tekanan pada sekelompok elite ‘tertentu’ dengan beberapa alasan.
Pertama, setiap apa yang mereka katakan dan buat selalu menjadi perhatian jurnalis yang kemudian dimuat di media, lalu menjadi konsumsi umum (pembaca).
Kedua, mereka adalah publik figur (yang umumnya dikenal publik), yang setiap ucapan dan tindakannya, memiliki daya pengaruh yang cukup kuat.
Ketiga, mereka tidak hanya memiliki popularitas, akan tetapi juga mempunyai kelebihan-kelebihan dan keahlian-keahlian tertentu, yang kemudian membuat mereka menjadi idola.
Lebih dari itu, keempat, nasib bangsa ini ada di ‘tangan’ (baca: berada dalam tanggung jawab) mereka atas perintah konstitusi.
Dengan memberi aksentuasi pada sekelompok elite itu, saya tidak hendak mengabaikan inkonsistensi sikap, perilaku, tutur kata, dan ‘cara berpikir’ rakyat ‘kebanyakan’, lalu mereka menjadi kelompok yang luput dari atensi tulisan saya. Tetapi lebih karena beberapa alasan yang telah saya kemukakan di atas dan kegerahan serta kegalauan atas keributan tentang hal-hal yang tidak substansial, sekunder, persoalan teknis (metodologi).
Pendidikan karakter
Menurut Doni Kusumah, pendidikan karakter merupakan bentuk kegiatan manusia yang di dalamnya terdapat suatu tindakan yang mendidik dan diperuntukkan bagi generasi berikutnya. Tujuannya adalah untuk membentuk penyempurnaan diri individu secara terus-menerus dan melatih kemampuan diri demi menuju ke arah yang lebih baik (Doni Kusumah A. 2007. Hal 3-5).
Prof. H. Pramula Mahrus Razzan, Lc, M.Sc, M.Th, Ph.D mengartikan pendidikan karakter sebagai suatu ilmu pengetahuan yang berfungsi memperbaiki karakter manusia yang perlu ditanamkan sejak dini guna mencetak generasi berakhlak dan bermoral Pancasila yang masih dalam lingkup Revolusi Mental.
Revolusi Mental ini adalah gagasan Joko Widodo ketika tampil sebagai kandidat Presiden dalam Pemilu 2014 yang kemudian menjadi model pembangunan, saat dia mulai memimpin Indonesia setelah terpilih menjadi Presiden. Kondisi bangsa yang karut-marut telah menginspirasi Joko Widodo untuk menelurkan ide Revolusi Mental yang diharapkan dapat menepis kegelisahan dan menggairahkan kembali optimisme rakyat.
Dalam definisi di atas, terdapat aspek teori (ilmu) dan praktek (tindakan) dalam pendidikan karakter. Ilmu adalah sesuatu yang dipelajari, sedangkan tindakan merupakan sesuatu yang dilatih. Latihan itu dilakukan secara berulang-ulang. Itu artinya mengandaikan adanya pembiasaan.