Opini

Pendidikan Karakter Minus Keteladanan

Tulisan ini secara khusus membidik inkonsistensi sikap, perilaku, ucapan dan dalam arti tertentu juga ‘cara berpikir’ sebagian elite, tokoh

Editor: Agustinus Sape
FOTO PRIBADI
Arnoldus Nggorong 

Pendidikan Karakter Minus Keteladanan

Oleh: Arnoldus Nggorong*

POS-KUPANG.COM - Akhir-akhir ini segelintir elite mengembuskan isu yang membuat sibuk, gaduh dan heboh negeri ini. Di antara isu yang amat sering menjadi perbincangan dan diskusi yang mendalam, baik di media elektronik maupun media sosial, adalah perpanjangan masa jabatan Presiden dan dilanjutkan lagi dengan isu penundaan Pemilu.

Menurut catatan detiknews.com 28/2/2022, isu perpanjangan masa jabatan Presiden Jokowi sudah muncul sejak tahun lalu. Awal mulanya adalah sekelompok orang yang menamakan diri relawan Jokowi. Mereka mengembuskan isu Jokowi tiga periode. Isu itu lalu bermutasi menjadi perpanjangan ‘hanya’ beberapa tahun yang didengungkan oleh Menteri Investasi, Bahlil Lahadalia, yang pada gilirannya juga berujung pada penundaan Pemilu. Kemudian Muhaimin Iskandar, Ketua Umum PKB, secara eksplisit mewacanakannya dengan istilah menunda Pemilu. Isu penundaan Pemilu ini pun mendapat dukungan dari Zulkifli Hasan, Ketua Umum PAN.

Isu yang disebutkan di atas terus bergulir dan menyita perhatian amat serius dari beberapa kalangan termasuk para pakar terlebih yang ahli di bidangnya. Beberapa pihak memberikan tanggapan, ada yang menolak dan ada pula yang mendukung. Masing-masing pihak dengan argumentasinya.

Cuma tanya

Isu tersebut di atas memunculkan pertanyaan. Apakah sekumpulan elite yang mengembuskan isu itu mempunyai maksud yang tulus untuk mempertahankan Presiden Jokowi, yang menurut penilaian sejumlah pihak adalah pemimpin yang baik sehingga perlu dipertahankan (baca: dilestarikan), seakan-akan di negeri ini tidak ada lagi calon pemimpin yang baik kecuali/dan hanya Jokowi.

Lagi pula Jokowi hanyalah seorang manusia biasa. Yang namanya manusia, di dalam dirinya sendiri, terdapat potensi untuk berbuat baik ataupun jahat. Jika berupa potensi masih bersifat kemungkinan. Sebab merujuk pada pengertian yang diberikan KBBI, potensi adalah kemampuan yang mempunyai kemungkinan untuk dikembangkan.

Padahal beberapa abad lalu Lord Acton (1833-1902) sudah memperingatkan dengan tegas bahwa kekuasaan itu mempunyai kecenderungan yang buruk. Senada dengan Lord Acton, Ignas Kleden dengan gamblang menulis, “Kecenderungan kekuasaan untuk memperbesar dirinya jauh lebih kuat daripada kemampuannya membatasi diri, dan kecenderungan kekuasaan untuk membenarkan diri juga berkali-kali lebih kuat dari kemampuannya mengritik dan mengawasi dirinya” (Kompas 6/6/2006).

Selanjutnya, jika diandaikan setelah masa jabatan Presiden Jokowi ditambah satu periode atau juga Pemilu ditunda dan masa jabatannya diperpanjang, apakah dengan sendirinya berdampak langsung terhadap ketuntasan permasalahan bangsa yang kompleks itu, kesejahteraan rakyat terjamin?

Ataukah mereka mungkin hendak mengambil benefit tertentu untuk melanggengkan jabatan dan memperluas pengaruh misalnya. Atau mungkin juga segerombolan elite ini sedang dengan sengaja melemparkan isu ini untuk membuat heboh (baca: mencari sensasi) supaya disebut sebagai ‘pencetus ide’ yang gemilang dan dengan itu dikenal secara luas oleh masyarakat Indonesia, lalu menjadi terkenal.

Atau pula mungkin mereka cuma ingin membuat sibuk banyak orang untuk berwacana (baca: debat kusir), yang untuk sementara pada saat ini isu itu belum bersifat urgen dan mendesak. Sebab masih ada yang jauh lebih penting dari itu, misalnya masalah pandemi global, masih banyak wilayah yang terpencil belum tersentuh oleh infrastruktur dan sarana prasarana pendidikan dan kesehatan yang memadai, narkoba, persoalan disintegrasi di Papua, dan sebagainya.

Sejumlah pertanyaan di atas hanya dapat dijawab oleh mereka sendiri. Di luar mereka, deretan pertanyaan itu hanya bersifat dugaan, termasuk saya sendiri. Dengan mengajukan pertanyaan demikian, saya tidak hendak menuduh mereka sebagai pihak yang tidak berkompeten, atau lebih lagi dikatakan mereka adalah orang-orang yang tidak peka dan peduli terhadap nasib bangsa yang sedang dirundung masalah korupsi, penegakan hukum yang terkesan tebang pilih, disintegrasi, permasalahan sosial seperti begal, perampokan; bencana alam: gempa bumi dan banjir, bencana Covid-19 yang telah menyebabkan kerugian material dan imaterial. Sekali lagi saya tidak berpretensi apalagi memiliki kewenangan dan kompetensi untuk memberikan penilaian.

Bangsa Indonesia saat ini sedang menghadapi masalah yang sangat kompleks. Kompleksitas permasalahan bangsa itulah yang perlu dipetakan mana yang lebih diprioritaskan dan mendesak untuk ditangani segera dan apa lagi yang berikutnya. Kompleksitas masalah bangsa itu pula yang menuntut perhatian semua elemen bangsa terutama ‘mereka’ yang diberi kewenangan oleh Undang-undang. Bukan lagi dengan mengeluarkan pernyataan yang dapat menimbulkan persoalan baru yang malah membuat gaduh.

Dalam formula yang etik adalah bagaimana mewujudkan sila kelima Pancasila yaitu Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Cita-cita luhur inilah yang harus diperjuangkan dengan mengerahkan segala sumber daya. Energi bangsa ini mesti diarahkan untuk mengusahakan visi suci ini menjadi kenyataan. Sebab itulah yang menjadi harapan seluruh rakyat Indonesia. Dengan itu harkat dan martabat manusia dimuliakan, yang mendapat peneguhannya dalam sila kedua Pancasila yaitu Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Semuanya itu bersumber sekaligus bermuara pada keagungan dan keluhuran Tuhan, yang dipadatkan dalam rumusan sila pertama yakni Ketuhanan Yang Maha Esa.

Maksud tulisan ini

Dalam tulisan ini saya tidak memfokuskan perhatian pada menjawab sejumlah pertanyaan yang dikemukakan di atas. Sebab hal itu, sekali lagi, di luar jangkauan kompetensi dan kewenangan saya. Pun tidak memberikan pembahasan yang memadai tentang sikap penolakan terhadap kedua isu tersebut. Sebab sejumlah aktivis dan para pakar termasuk ahli Hukum Tata Negara sudah memberikan penjelasan dan pendapatnya masing-masing.

Tulisan ini secara khusus membidik inkonsistensi sikap, perilaku, ucapan dan dalam arti tertentu juga ‘cara berpikir’ sebagian elite, tokoh, publik figur baik di tingkat pusat maupun daerah. Inkonsistensi yang dimaksudkan di sini lebih kepada ketidakserasian sikap, perilaku, ucapan dan ‘cara berpikir’ di antara satu dengan yang lainnya. Pada suatu kesempatan mereka bisa berbicara dan bertindak lain dan di lain waktu mereka pun boleh berkata dan bertindak lain lagi.

Dirumuskan dalam bahasa sederhana, mereka dapat mengemukakan apa saja seturut kemauannya sendiri, entah itu nanti berdampak pada kemelut atau konflik di tengah masyarakat, itu bukan urusannya. Yang penting adalah hasratnya untuk berbicara tersalur. It’s no business. Seolah-olah mereka berada ‘di luar’ tanggung jawab moral atas risiko dari apa yang mereka katakan dan/atau lakukan.

Di sini saya memilih memberi tekanan pada sekelompok elite ‘tertentu’ dengan beberapa alasan.

Pertama, setiap apa yang mereka katakan dan buat selalu menjadi perhatian jurnalis yang kemudian dimuat di media, lalu menjadi konsumsi umum (pembaca).

Kedua, mereka adalah publik figur (yang umumnya dikenal publik), yang setiap ucapan dan tindakannya, memiliki daya pengaruh yang cukup kuat.

Ketiga, mereka tidak hanya memiliki popularitas, akan tetapi juga mempunyai kelebihan-kelebihan dan keahlian-keahlian tertentu, yang kemudian membuat mereka menjadi idola.

Lebih dari itu, keempat, nasib bangsa ini ada di ‘tangan’ (baca: berada dalam tanggung jawab) mereka atas perintah konstitusi.

Dengan memberi aksentuasi pada sekelompok elite itu, saya tidak hendak mengabaikan inkonsistensi sikap, perilaku, tutur kata, dan ‘cara berpikir’ rakyat ‘kebanyakan’, lalu mereka menjadi kelompok yang luput dari atensi tulisan saya. Tetapi lebih karena beberapa alasan yang telah saya kemukakan di atas dan kegerahan serta kegalauan atas keributan tentang hal-hal yang tidak substansial, sekunder, persoalan teknis (metodologi).

Pendidikan karakter

Menurut Doni Kusumah, pendidikan karakter merupakan bentuk kegiatan manusia yang di dalamnya terdapat suatu tindakan yang mendidik dan diperuntukkan bagi generasi berikutnya. Tujuannya adalah untuk membentuk penyempurnaan diri individu secara terus-menerus dan melatih kemampuan diri demi menuju ke arah yang lebih baik (Doni Kusumah A. 2007. Hal 3-5).

Prof. H. Pramula Mahrus Razzan, Lc, M.Sc, M.Th, Ph.D mengartikan pendidikan karakter sebagai suatu ilmu pengetahuan yang berfungsi memperbaiki karakter manusia yang perlu ditanamkan sejak dini guna mencetak generasi berakhlak dan bermoral Pancasila yang masih dalam lingkup Revolusi Mental.

Revolusi Mental ini adalah gagasan Joko Widodo ketika tampil sebagai kandidat Presiden dalam Pemilu 2014 yang kemudian menjadi model pembangunan, saat dia mulai memimpin Indonesia setelah terpilih menjadi Presiden. Kondisi bangsa yang karut-marut telah menginspirasi Joko Widodo untuk menelurkan ide Revolusi Mental yang diharapkan dapat menepis kegelisahan dan menggairahkan kembali optimisme rakyat.

Dalam definisi di atas, terdapat aspek teori (ilmu) dan praktek (tindakan) dalam pendidikan karakter. Ilmu adalah sesuatu yang dipelajari, sedangkan tindakan merupakan sesuatu yang dilatih. Latihan itu dilakukan secara berulang-ulang. Itu artinya mengandaikan adanya pembiasaan.

Tindakan memiliki korelasi yang erat dengan keteladanan. Jika keteladanan adalah sesuatu yang abstrak, tidak berwujud, maka tindakan merupakan wujud konkret dari keteladanan. Dengan kata lain, jika keteladanan adalah basis materialnya, maka tindakan adalah basis formalnya.

Itu artinya pendidikan karakter mesti berpautan dengan keteladanan. Keteladanan sama dengan kesaksian hidup. Pendidikan karakter tanpa keteladanan ibarat kata pepatah tong kosong nyaring bunyinya.

Agar pendidikan karakter itu membumi dan mengakar harus ditampakkan dalam kesaksian hidup yang nyata. Bukan cuma kepandaian berkata-kata.

Inkonsistensi vs keteladanan

Inkonsistensi itu, sebagaimana yang dipaparkan sebelumnya dan dalam arti tertentu, juga merupakan negasi terhadap keteladanan. Keteladanan adalah sesuatu yang inheren dengan manusia. Artinya melekat, tidak dapat dipisahkan. Jika ditelusuri, kata keteladanan adalah bentuk nomina dari kata teladan yang diberi konfiks ke-…-an. KBBI memberi batasan demikian tentang kata keteladanan yaitu hal yang dapat ditiru atau dicontoh. Dan kata teladan artinya sesuatu yang patut ditiru atau baik untuk dicontoh.

Dalam definisi kata teladan terdapat kata patut, sedangkan pada kata keteladanan tertera kata dapat. Jika ditautkan dengan kualitas-kualitas tertentu pada manusia yang menjadi keutamaannya, maka keutamaan-keutamaan yang ada dalam diri manusia tadi bukan hanya dapat, tetapi lebih dari itu patut dijadikan contoh. Dikatakan dapat dan patut karena mengandung kebaikan. Sebab yang baik itu di dalam dirinya sendiri memberi inspirasi, spirit, motivasi dan daya yang menghidupkan (elan vita). Jadi di dalamnya terdapat sifat kekekalan, keabadian, tidak punah. Ada kepastian, optimisme. Tak ada keraguan sedikit pun.

Untuk lebih mudah memahaminya, KBBI memberikan contoh yang jelas dalam kalimat terkait kata teladan dan keteladanan. Untuk kata teladan, contohnya adalah “Ia terpilih sebagai pelajar teladan.” Sedangkan contoh kalimat dari kata keteladanan adalah “Tidak perlu kita ragukan lagi keteladanannya sebagai orang tua.”

Sedangkan kata inkonsistensi, menurut arti yang diberikan KBBI, adalah ketidaktaatasasan; ketidakserasian. Lebih lanjut, untuk lebih terang dimengerti, KBBI menggunakan kata inkonsistensi dalam contoh kalimat berikut: “Penjelasan yang berbeda-beda dari Pemerintah tentang kasus itu memperlihatkan adanya inkonsistensi di antara aparat.”

Bertolak dari penjelasan di atas dapat dikatakan bahwa inkonsistensi sudah menunjukkan perihal yang berlawanan dengan keteladanan. Antonim dari kata inkonsistensi adalah konsistensi. Jika keteladanan adalah adanya keselarasan antara ucapan dan tindakan, pikiran dan perbuatan, yang juga mengandung konsistensi, determinasi, kejujuran, apa adanya, maka inkonsistensi merupakan sebaliknya seperti ketimpangan, ketidakteraturan, ketidaktepatan, ketidakseragaman.

Contoh kasus

Maka dari itu, beberapa contoh kasus yang disebutkan berikut ini mungkin dapat memberikan gambaran untuk menunjuk pada pendidikan karakter tanpa didukung keteladanan.

Dalam kasus korupsi misalnya. Betapa sulitnya menemukan oknum elite tertentu yang dengan jiwa besar mengundurkan diri dari jabatannya ketika ada dugaan terlibat dalam kasus korupsi, apalagi mengakuinya dengan terus terang. Kalaupun mengundurkan diri, hal itu dapat terjadi lebih karena adanya desakan yang begitu kuat dan meluas dari berbagai kalangan.

Berbagai upaya dilakukan oleh oknum elite tertentu yang terlibat kasus korupsi untuk bisa menghindar dan lebih dari itu sedapat mungkin bebas dari jerat hukum. Upaya itu diperjuangkan baik secara individu maupun kolektif dan dengan cara-cara yang ilegal maupun legal.

Salah satu contoh cara yang ilegal adalah ‘pertunjukan’ yang dipertontonkan Setya Novanto yang tersangkut kasus mega korupsi e-KTP. Dia sukses mempertunjukkan ‘permainan’ bak sinetron ketika kecelakaan lalu lintas menimpanya pada Kamis malam 16 November 2017. Mobil yang ditumpanginya menabrak tiang listrik. Tiang listrik itu pun kemudian menjadi daya tarik objek foto warga (tempo.co. 19/11/2017). Setya Novanto rela melakoni peran ‘antagonis’ dengan apik dan cerdik hanya demi menghindari jeratan hukum. Karena ulahnya itu, dia dikenal dengan panggilan ‘Papa tiang listrik’.

Padahal sebelumnya juga ia sudah tenar dengan sebutan ‘Papa minta saham’ yang berkaitan dengan Freeport (JawaPos.com 23/12/2018).

Contoh lain yang tak kalah hebohnya juga adalah tokoh Anas Urbaningrum, mantan Ketua Umum Partai Demokrat, yang dengan gagah berani menyatakan kesediaannya digantung di Monas. “Saya yakin. Yakin. Satu Rupiah saja Anas korupsi di Hambalang, gantung Anas di Monas,” ujar Anas di Kantor DPP Demokrat, Jakarta Pusat (Kompas.com 9/3/2012).

Sedangkan contoh lain untuk cara yang legal dapat dilihat dalam upaya pelemahan KPK yang tampil dalam berbagai bentuk. Terkait gejala pelamahan KPK, Mochammad Nurhasim, Peneliti Politik LIPI, membagi periode paradigma KPK menjadi dua tahap. Pertama, periode 2002-2017: KPK sebagai institusi independen. Kedua, periode 2019-2021: KPK menjadi bagian dari Pemerintah (Gatracom. 3/6/2021).

Selanjutnya, Mochammad Nurhasim membeberkan beberapa contoh kasus dalam upaya pelemahan KPK di antaranya pemberhentian sementara Ketua KPK Antasari Azhar pada tahun 2009, tindakan sebagian besar anggota Komisi III DPR periode 2004-2009 yang meminta KPK untuk cuti penyidikan dan penuntutan, kasus Cicak vs Buaya (KPK vs POLRI), kriminalisasi pimpinan KPK (Bibit Samad Rianto dan Chandra Hamzah), sejumlah aksi kekerasan terhadap Novel Baswedan (Penyidik KPK), kasus kekalahan KPK atas Budi Gunawan, perubahan UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK diganti dengan UU Nomor 19 Tahun 2019, Tes Wawasan Kebangsaan pegawai KPK.

Di bidang pendidikan. Ketika terjadi polemik terkait Ujian Nasional (UN). Dalam artikel berjudul “Pendidikan Karakter dan UN” (Kompas 7/12/2016) Guru Besar Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, Syamsul Rizal, mengutip Kompas (28/11/2016), Mendikbud Muhadjir Effendy menyatakan, ada tiga opsi yang disiapkan terkati UN yaitu penghapusan UN dari sistem pendidikan, penghentian sementara UN pada 2017, dan tetap menjalankan UN dengan teknis pelaksanaan diserahkan ke daerah.

Lebih lanjut diberitakan pula, sejumlah organisasi guru mendukung moratorium UN. Sebab “Anak-anak belajar tidak jujur akibat UN. Kami mendukung moratorium,” kata Retno Listyarti, Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia.

Terkait ketidakjujuran akibat UN, Kompas.com (10/4/2017) memberitakan, Kemendikbud menerima 17 laporan pengaduan tentang kebocoran soal UN.

Pernyataan yang bertolakbelakang dengan sikap mendukung moratorium UN adalah pernyataan Wapres Jusuf Kalla yang menilai, UN masih diperlukan untuk dijadikan standar penilaian. “Kalau tidak ada standar, bagaimana mengetahui kita sampai di mana,” ujar Kalla (Kompas 28/11/2016).

Lalu di bidang agama. Editorial mediaindonesia.com (20/3/2020) menyoroti dua kegiatan keagamaan yang tetap diselenggarakan di kala dunia menghindari kerumunan demi mencegah penyebaran virus Covid-19. Dua ritual keagamaan itu adalah penyelenggaraan Ijtima Ulama Dunia di Kompleks Darul Ulum, Gowa, Sulawesi Selatan dan misa penahbisan Uskup Ruteng di Manggarai, Nusa Tenggara Timur.

Walau akhirnya penyelenggaraan Ijtima Ulama Dunia itu dibatalkan, namun ribuan peserta sudah berdatangan (mediaindonesia.com 18/3/2020). Sementara misa penahbisan Uskup Ruteng tetap diselenggarakan meski pihak penyelenggara memeriksa temperatur suhu tubuh peserta dan memberikan mereka cairan pembersih tangan.

Pendidikan Karakter dan Keteladanan saling mengandaikan

Berdasarkan contoh-contoh kasus di atas, tak diragukan lagi kompetensi dan kapabilitas para elite tersebut. Mereka bukan hanya mempunyai ilmu yang mumpuni, tetapi juga kekuasaan dan pengaruh. Mereka juga memiliki popularitas. Mereka sungguh memahami dengan baik Pendidikan Karakter. Mereka pintar berpidato. Mereka lantang berkotbah. Mereka pandai berceramah dan menjadi nara sumber dalam berbagai acara. Mereka terampil dalam retorika. Penampilannya memukau dan senyumnya memesona banyak orang.

Dalam bahasa Haryatmoko, “Pengetahuan, kepiawaian berbicara dan kedudukan, tidak (dengan sendirinya) menjamin konsistensi dalam tindakan. Antara “tahu” dan “bisa melakukan” itu masih ada jarak yang dalam.” (Haryatmoko, 2003, hal. 126)

Namun fakta menunjukkan sebaliknya. Keteladanan yang diperlihatkan dalam hal kepatuhan dan ketaatan tidak linier dengan kompetensi dan kapabilitas yang dimiliki. Seolah-olah mereka mendapat privilese dan diperlakukan sebagai kelompok khusus yang tidak perlu tunduk pada aturan hukum dan asas moral. Seakan-akan kepatuhan dan ketaatan itu hanya berlaku bagi kawula.

Maka dari itu, Pendidikan Karakter tanpa keteladanan adalah mustahil. Sebab menurut Syamsul Rizal, Pendidikan Karakter adalah ajaran tentang nilai-nilai inti (core values) yang secara umum mempunyai sifat-sifat: layak dipercaya (trust worthiness), saling menghormati (respect), bertanggung jawab (responsibility), bersikap adil (fairness), merasa senasib dan peduli (caring), dan menjadi warga negara yang baik (citizenship) (Kompas 7/12/2016).

Sifat-sifat tersebut, demikian Syamsul Rizal, masih terlalu abstrak. Dengan kata lain Pendidikan Karakter adalah sebuah konsep yang sangat abstrak. Oleh karena itu, nilai-nilai inti dalam Pendidikan Karakter mesti dihidupi dalam keseharian hidup baik di dalam lingkungan keluarga, sekolah, kantor, masyarakat, maupun dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Nilai-nilai itu mesti diamalkan, tidak cukup hanya diajarkan.

Dengan demikian Pendidikan Karakter hanya menemukan kedalaman maknanya dalam keteladanan. Pendidikan Karakter dan keteladanan ibarat dua sisi mata uang yang sama. Pendidikan Karakter yang mengabaikan keteladanan seperti membangun rumah di atas pasir. Keteladanan yang menafikan Pendidikan Karakter seumpama rumah tanpa atap. Keduanya saling mengandaikan, tidak dapat saling meniadakan.

Di negeri ini banyak orang pintar (baca: berilmu) namun cuma sedikit yang memiliki keberanian menunjukkan keteladanan (baca: berkarakter). Maka tidaklah heran ketika Joko Widodo terpilih sebagai Presiden dalam Pemilu 2014, menakhodai Negara ini dengan gaya kepemimpinan yang merakyat, banyak orang memberi apresiasi. Namun itu tidak berarti harus ditambah lagi satu periode atau diperpanjang masa jabatannya. Karena dengan itu, dia sendiri menggugurkan gagasan Revolusi Mental-nya.*

(Arnoldus Nggorong adalah pegiat sosial, alumnus STFK Ledalero, alumnus Sekolah Demokrasi Mabar 2013 yang dikembangkan Sosiolog Ignas Kleden [Direktur KID: Komunitas Indonesia untuk Demokrasi], tinggal di Labuan Bajo)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved