Opini Pos Kupang

Dilema Momentum Pertumbuhan Ekonomi

International Monetary Fund ( IMF), ADB serta Bank Indonesia, sama-sama taksasi, menurunkan target pertumbuhan ekonomi

Editor: Kanis Jehola
zoom-inlihat foto Dilema Momentum Pertumbuhan Ekonomi
DOK POS-KUPANG.COM
Logo Pos Kupang

Menteri Keuangan, Sri Mulyani, pada tanggal 30 April 2021, menumpahkan unek-uneknya di media. Menurutnya, niat di balik cairnya THR yang digilir ke seluruh ASN dan karyawan swasta, diharapkannya bisa dorong konsumsi rumah tangga (RT). Wujud respon kebijakan tersebut adalah dengan mengumumkan Hari Belanja Nasional ke publik.

Karena konsumsi RT merupakan prime mover pertumbuhan ekonomi yang mumpuni di tengah pandemi Covid-19. Pilar penting PDB (Produk Demestik Bruto) nasional; menurut pengeluaran. Itupun tidak gampang. Distimulus sana sini dengan BLT dan paket kebijakan lainnya untuk mendorong konsumsi masyarakat.

Pasal itu yang yang membikin Sri Mulyani keukeuh, bahwa "meski tak jadi mudik, shopping dulu baru lebaran."

Perkara setelah shopping habis-habisan karyawan kecil atau buruh makan apa adalah soal lain. Yang penting, di atas kertas, pertumbuhan ekonomi dapat keluar dari zona kontraksi demi reputasi Sri Mulyani sebagai menteri ekonomi terbaik dunia.
***
Dus, dua bulan setelah lebaran (Juli/2021), masuk tahun ajaran baru. Bagi Aparatur Sipil Negara (ASN), tantu ada gaji 13. Konsumsi RT untuk pendidikan dari sisi ASN, akan menjadi salah satu pilar pertumbuhan konsumsi RT.

Lain ASN lain pula karyawan swasta. Di momen tahun ajaran baru, benar-benar tergencet oleh kebutuhan konsumsi untuk pendidikan, disaat yang sama, daya beli (purchasing power) belum benar-benar sembuh.

Dari data BPS mutakhir 2021, dari 90 kota, ada 32 kota yang masih deflasi. Ini merefleksikan daya beli yang masih sakit. Terutama di sektor buruh. Upah riil buruh turun 0,06 persen dari Rp.85.750 pada Februari 2021.

Inflasi tertinggi di Papua dari kelompok makanan dan minuman. Ini pun karena rantai supply yang tersumbat karena faktor geografis. Deflasi dan grafik upah riil buruh yang lambat, menggambarkan daya beli yang belum pulih.

Upah riil menggambarkan perbandingan upah nominal terhadap indeks harga konsumen (IHK) perkotaan. Dengan upah riil yang terkoreksi dan daya beli di zona kontraksi, maka memasuki tahun ajaran baru, kelompok karyawan swasta ini akan benar-benar tergencet dengan kebutuhan pengeluaran pendidikan yang tinggi untuk anak-anak mereka.

Oleh sebab itu, anjuran shopping masal di hari belanja nasional, disatu sisi berfaedah bagi reputasi pemerintah-untuk pertumbuhan ekonomi di atas kertas. Namun celaka bagi buruh dengan upah riil yang mangkrak.

Alangkah baiknya, pemerintah juga mengajarkan rakyat saving money. Simpan THR-nya, untuk kebutuhan-kebutuhan yang kapepet. Demikian juga untuk kebutuhan produktif seperti untuk pendidikan anak.

Apalagi di tengah kondisi keuangan rakyat yang seret begini. Jangan sampai shopping sehari mengalahkan investasi jangka panjang-untuk pendidikan. Karena pengeluaran untuk pendidikan, lebih penting ketimbang menguap di hari lebaran saja.

Pemerintah mestinya mengajari rakyat terkait THR produktif. Misalnya, saving THR untuk modal usaha rumahan. Apalagi bagi mereka yang belum mendapat bantuan produktif usaha mikro. Jadi impeknya lebih sustain. Ketimbang dihabisi untuk hal-hal yang konsumtif semata.

Saya pernah dengan kelakar kepala BPS. Rata-rata rakyat kecil punya masalah family size. Pendapatan kecil anak bejibun. Kalau THR 1x upah UMR dipakai untuk shopping lima kepala saja, berapa yang mesti dibelanjakan dan berapa yang mesti di saving untuk keperluan produktif ? (*)

Kumpulan Opini Pos Kupang

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved