Opini Pos Kupang

Dilema Momentum Pertumbuhan Ekonomi

International Monetary Fund ( IMF), ADB serta Bank Indonesia, sama-sama taksasi, menurunkan target pertumbuhan ekonomi

Editor: Kanis Jehola
zoom-inlihat foto Dilema Momentum Pertumbuhan Ekonomi
DOK POS-KUPANG.COM
Logo Pos Kupang

Oleh : Abdul Munir Sara, Tenaga Ahli Anggota DPR RI

POS-KUPANG.COM - International Monetary Fund ( IMF), Asia Development Bank ( ADB) serta Bank Indonesia (BI), sama-sama taksasi, menurunkan target pertumbuhan ekonomi RI tahun 2021. Vaksinasi dan faktor external masih menjadi analisis risiko pertumbuhan.

ADB misal, turunkan target pertumbuhan ekonomi 4,5 persen dari sebelumnya yang ditaksir sendiri 5,3 persen di tahun 2021. Itupun 4,5 persen ini bisa terkoreksi lagi, bila varian baru Covid-19 di India berdampak global.

Dalam keadaan normal saja, pertumbuhan ekonomi RI sulit terkerek. Berat minta ampun. Apalagi ekpektasi pertumbuhan ekonomi berada dalam gejolak eksternal atau global uncertainty.

Misalnya, bilamana bank sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) menaikkan suku bunga kebijakan AS karena laju inflasi AS, itu juga soal. Kenapa? Ya capital inflow akan mampet. Pasar modal dalam negeri pun terjebak dalam fluktuasi.

Baca juga: Mengantisipasi Kembalinya Para Pemudik

Baca juga: Kode Redeem ML Hari Ini 10 Mei 2021, Segera Klaim Kode Redeem Mobile Legends Terbaru

Kendati kontribusi pasar modal terhadap PDB nasional sekitar 40-50 persen (BEI 2020).

Spekulasi inflasi AS dan kenaikan suku bunga kebijakan AS oleh The Fed, nyatanya berdampak ke RI. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) hingga April 2021 berakhir, berfluktuasi di posisi 6000. Dan alangkah beratnya IHSG terungkit ke posisi 6200.

Hal ini dipicu oleh aksi jual bersih asing (net sell foreign) yang terus menerus sepanjang kuartal I 2021. SBN RI juga bergairah sebagaimana mesti. Ini contoh faktor-faktor eksternal yang akan menghambat laju pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Dan saat ini, laju inflasi AS yang mulai terkerek, membuat spekulasi naiknya suku bunga kebijakan The Fed tak terelakan. Di tengah tren suku bunga kebijakan rendah yang dilakukan BI baru saja, untuk menggenjot kredit usaha, tiba-tiba mesti merespon suku bunga kebijakan The Fed untuk me-rem arus modal keluar (capital outflow) akibat menariknya AS treasury yield bond.

Untuk ekonomi tumbuh 1 persen saja, butuh engine of growth yang mumpuni. Butuh mesin pertumbuhan dengan double atau triple effect. Butuh utang baru lagi. Rasio utang terhadap PDB terus meningkat. Sekarang 41 persen terhadap PDB pada kuartal I 2021 (data Menkeu : 2021).

Baca juga: Update Covid-19 NTT : Pasien Positif Covid-19 di Sumba Timur dan Manggarai Barat Meninggal Dunia 

Baca juga: Dua Inovasi Kanwil Kemenkumham NTT Pastikan Warga Miskin Dapat Bantuan Hukum Gratis 

Dan perkiraan rasio hutang (% terhadap PDB) bisa terus meningkat, bila defisit APBN terus melebar seiring seretnya sumber penerimaan negara.

Karena porsi pertumbuhan didominasi konsumsi, sehingga government expenditure harus extra. Sementara pendapatan seret. Tax ratio mangkrak satu dekade terakhir. Otomatis defisit butuh pembiayaan/hutang. Ini fakta yang tak bisa dielak.

Salah satu pahlawan ekonomi kita adalah konsumsi masyarakat. Ini yang lagi-lagi selalu menjadi fortress ekonomi kita. Oleh sebab itu, daya beli dan inflasi dijaga sedemikian rupa oleh BI dan pemerintah. Agar konsumsi masyarakat tidak mengalami tekanan terlampau dalam yang berdampak pada gangguan ekspektasi pertumbuhan ekonomi di tahun 2021.

Pemerintah mesti menggeser ekspektasi pertumbuhan ekonomi. Mendiversifikasikannya agar tidak bertumpu pada konsumsi dan lebih berorientasi pada produksi. Selama ini konsumsi RT berkontribusi terhadap PDB (menurut pengeluaran) di atas 50 persen.

Itu menandakan komponen PDB lain seperti net ekspor benar-benar belum meng-expect pertumbuhan ekonomi seiring produksi nasional yang terus menerus melorot.

Menteri Keuangan, Sri Mulyani, pada tanggal 30 April 2021, menumpahkan unek-uneknya di media. Menurutnya, niat di balik cairnya THR yang digilir ke seluruh ASN dan karyawan swasta, diharapkannya bisa dorong konsumsi rumah tangga (RT). Wujud respon kebijakan tersebut adalah dengan mengumumkan Hari Belanja Nasional ke publik.

Karena konsumsi RT merupakan prime mover pertumbuhan ekonomi yang mumpuni di tengah pandemi Covid-19. Pilar penting PDB (Produk Demestik Bruto) nasional; menurut pengeluaran. Itupun tidak gampang. Distimulus sana sini dengan BLT dan paket kebijakan lainnya untuk mendorong konsumsi masyarakat.

Pasal itu yang yang membikin Sri Mulyani keukeuh, bahwa "meski tak jadi mudik, shopping dulu baru lebaran."

Perkara setelah shopping habis-habisan karyawan kecil atau buruh makan apa adalah soal lain. Yang penting, di atas kertas, pertumbuhan ekonomi dapat keluar dari zona kontraksi demi reputasi Sri Mulyani sebagai menteri ekonomi terbaik dunia.
***
Dus, dua bulan setelah lebaran (Juli/2021), masuk tahun ajaran baru. Bagi Aparatur Sipil Negara (ASN), tantu ada gaji 13. Konsumsi RT untuk pendidikan dari sisi ASN, akan menjadi salah satu pilar pertumbuhan konsumsi RT.

Lain ASN lain pula karyawan swasta. Di momen tahun ajaran baru, benar-benar tergencet oleh kebutuhan konsumsi untuk pendidikan, disaat yang sama, daya beli (purchasing power) belum benar-benar sembuh.

Dari data BPS mutakhir 2021, dari 90 kota, ada 32 kota yang masih deflasi. Ini merefleksikan daya beli yang masih sakit. Terutama di sektor buruh. Upah riil buruh turun 0,06 persen dari Rp.85.750 pada Februari 2021.

Inflasi tertinggi di Papua dari kelompok makanan dan minuman. Ini pun karena rantai supply yang tersumbat karena faktor geografis. Deflasi dan grafik upah riil buruh yang lambat, menggambarkan daya beli yang belum pulih.

Upah riil menggambarkan perbandingan upah nominal terhadap indeks harga konsumen (IHK) perkotaan. Dengan upah riil yang terkoreksi dan daya beli di zona kontraksi, maka memasuki tahun ajaran baru, kelompok karyawan swasta ini akan benar-benar tergencet dengan kebutuhan pengeluaran pendidikan yang tinggi untuk anak-anak mereka.

Oleh sebab itu, anjuran shopping masal di hari belanja nasional, disatu sisi berfaedah bagi reputasi pemerintah-untuk pertumbuhan ekonomi di atas kertas. Namun celaka bagi buruh dengan upah riil yang mangkrak.

Alangkah baiknya, pemerintah juga mengajarkan rakyat saving money. Simpan THR-nya, untuk kebutuhan-kebutuhan yang kapepet. Demikian juga untuk kebutuhan produktif seperti untuk pendidikan anak.

Apalagi di tengah kondisi keuangan rakyat yang seret begini. Jangan sampai shopping sehari mengalahkan investasi jangka panjang-untuk pendidikan. Karena pengeluaran untuk pendidikan, lebih penting ketimbang menguap di hari lebaran saja.

Pemerintah mestinya mengajari rakyat terkait THR produktif. Misalnya, saving THR untuk modal usaha rumahan. Apalagi bagi mereka yang belum mendapat bantuan produktif usaha mikro. Jadi impeknya lebih sustain. Ketimbang dihabisi untuk hal-hal yang konsumtif semata.

Saya pernah dengan kelakar kepala BPS. Rata-rata rakyat kecil punya masalah family size. Pendapatan kecil anak bejibun. Kalau THR 1x upah UMR dipakai untuk shopping lima kepala saja, berapa yang mesti dibelanjakan dan berapa yang mesti di saving untuk keperluan produktif ? (*)

Kumpulan Opini Pos Kupang

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved