Opini Pos Kupang
Hasrat Kuasa Versus Kompromi Cerdas (Membaca
Hasrat Kuasa Versus Kompromi Cerdas (Membaca "Tarik Tambang Kepentingan" Wabup Ende)
Thomas Meyer dalam buku Kompromi Jalur Ideal Menuju Demokrasi (2008) menyatakan, demokrasi identik dengan bersatunya banyak kepentingan yang mesti didialogkan agar mencapai tujuan sejati bagi rakyat.
Beragam kepentingan menjadi kekayaan yang butuh manajemen pengelolaan bijaksana dengan mempertimbangkan aspirasi semua golongan demi mendapatkan legitimasi dan kepercayaan publik. Jalannya melalui sebuah kompromi yang cerdas.
Kepercayaan dan kemampuan berkompromi cerdas membuat rakyat paham bahwa aspirasi dan kepentingannya dipertimbangkan secara adil. Inilah makna demokrasi yang substantif.
Budaya kompromi yang cerdas, menurut catatan sejarah, telah terbukti menjadi salah satu syarat untuk demokrasi yang sukses dan terpercaya. Kompromi merupakan jalan rasional dan solusi alternatif untuk mengakomodasi semua kepentingan, baik mayoritas maupun minoritas dengan memuliakan kepentingan publik (bonum commune).
Menyatukan sebanyak mungkin kepentingan, aspirasi dan nilai dalam pertimbangan menuju kompromi cerdas merupakan sasaran terpenting dalam demokrasi. Selama proses itu, kompromi menjadi ruang belajar bersama yang mematangkan keterampilan politik dalam ranah berdemokrasi.
Terkait kursi lowong Wabup Ende, kompromi cerdas ini mesti menjadi solusi rasional di tengah fakta "tarik tambang kepentingan" antara Partai Golkar dan partai koalisi lainnya.
Kita menduga, terbentuknya "koalisi baru" dadakan di dalam satu koalisi pengusung Marsel-Djafar patut didiskusikan lebih intens dalam kerangka masa depan demokrasi Ende. Memang, dalam politik, hanya kepentingan yang abadi. Kepentingan itu selalu momental. Pragmatisme perilaku politik model ini hanya akan menuai mudarat.
Hadirnya calon dari "koalisi baru" dalam koalisi Paket Marsel-Djafar patut diduga merupakan rajutan kepentingan instan dan pragmatis dari para ketua partai yang hasratnya membubung tapi tenaga kurang.
Orang Lio punya istilah bagus: wora. Omong besar tanpa isi. Memang tidak ada regulasi formal yang mensyaratkan proses koalisi mengusung calon. Perlu kebijaksanan dan kebesaran jiwa untuk memberi ruang pada yang lebih berhak.
Dalam proses kompromi, orang perlu membangun kesadaran diri terkait erat dengan kemampuan. Jangan terbuai oleh sokongan dari partai koalisi (tentu tidak ada makan siang gratis) tapi akhirnya tersandera selama memimpin.
Kepemimpinan kolektif kolegial. Publik Ende membutuhkan pemimpin (wakil bupati) yang bebas masalah dan tidak tersandera kepentingan politik-ekonomi (dari koalisi pengusung) agar lebih fokus dalam sinergi bersama Bupati Achmad Djafar membangun Ende di masa pandemi yang berat ini.
Kompromi cerdas dengan kiblat kepentingan bersama adalah basis demokrasi akal sehat yang akan menjadi investasi masa depan politik demi Ende sare Lio Pawe. (*)