Opini Pos Kupang
Hasrat Kuasa Versus Kompromi Cerdas (Membaca
Hasrat Kuasa Versus Kompromi Cerdas (Membaca "Tarik Tambang Kepentingan" Wabup Ende)
Hasrat Kuasa Versus Kompromi Cerdas (Membaca "Tarik Tambang Kepentingan" Wabup Ende)
Oleh : Steph Tupeng Witin, Penulis, Jurnalis, Perintis Oring Literasi Lembata
POS-KUPANG.COM - Berita utama (headline) Harian Umum Pos Kupang, Sabtu (20/02/2021) ditulis dengan judul besar: Golkar-Nasdem Tarik Menarik. Berita ini menarasikan perebutan kursi wakil bupati Ende yang lowong setahun lebih, pasca meninggalnya Bupati Marsel Y.W. Petu setelah 49 hari pelatikan.
Berita ini didukung dua berita terkait dengan ukuran huruf lebih kecil: Lebih Cepat Lebih Baik yang merupakan harapan Bupati Ende dan analisa "Domain Partai" terkait peran partai pengusung dalam konstelasi demokrasi pengangkatan wakil bupati yang menjadi representasi rakyat.
Berita ini disertai foto tiga kandidat Cawabup Ende yaitu Domi Mere dan Heri Wadhi (Golkar) dan Erik Rede (Nasdem). Bila kita mengikuti alur judul berita di atas, maka dalam kasus Cawabup Ende, Domi Mere dan Heri Wadhi "tarik tambang" melawan Erik Rede.
• Pencabutan Perpres Investasi Miras
Aspek fisik saja, calon Nasdem langsung tumbang. Mungkin saja menjelang "tarik tambang" Erik Rede menarik diri. Kita belum bicara soal pemahaman politik, kecerdasan demokrasi, kemampuan (ability), kapabilitas (capability), kapasitas (capacity), pengalaman mengabdi rakyat, integritas publik dan sebagainya. Soal-soal begini, rakyat Ende tentu paling tahu. Dan kalau koalisi partai lupa itu, Rhoma Irama ingatkan: terlalu.
Kita hanya bisa berharap bahwa partai-partai politik benar-benar menunjukkan diri sebagai pengemban amanat dan aspirasi rakyat, bukan titian mengeksplorasi hasrat politik kekuasaan tanpa isi kepala dan hati.
Konteks Kabupaten Ende yang sedang berjuang melawan virus Covid-19 saat ini harusnya menjadi basis pemikiran semua partai koalisi untuk menjatuhkan pilihan secara benar pada sosok tepat.
• Jadi Tersangka Dugaan Korupsi Proyek Awololong Lembata, Silvester Samun Malah Diangkat Jadi Kadis
Bupati Achmmad Djafar yang "lompat tanpa rintangan" menggantikan kursi Marsel Petu, membutuhkan sosok wakil yang benar-benar memahami konteks zona merah Covid-19 sekaligus berintegritas baik untuk menghadapi orang-orang yang diduga "ringan tangan" menggarong dana-dana publik, khususnya selama pandemi ini.
Bupati Achmad Djafar membutuhkan sosok wakil yang memiliki rekam jejak pengabdian dalam dunia birokrasi dan terkhusus bidang kesehatan sehingga benar-benar menjawabi keresahan penanganan Covid-19 saat ini.
Konteks pandemi ini harus ada di otak para pemimpin partai politik khususnya dalam koalisi agar berpikir tentang rakyat Ende, bukan dengan cara menelikung di tengah jalan.
Sosok wakil bupati yang memiliki integritas dan rekam jejak pengabdian yang baik akan menjadi bumerang dan ancaman bagi perilaku suka garong-garong uang rakyat dengan mekanisme yang terkesan seolah-olah formal.
Selama satu tahun lebih, Bupati Achmad Djafar memimpin Ende tanpa wakil bupati. Roda pemerintahan memang mesti berjalan. Fakta ini niscaya.
Semua berjalan baik-baik saja. Kita juga tidak tahu apa yang bergayut di nurani aparat birokrasi dan rakyat Ende. Tapi kehadiran seorang wakil bupati adalah perintah undang-undang. Tidak bisa tidak.
Prosesnya menjadi domain partai politik (koalisi pengusung Paket Marsel-Djafar). Pasal 174 ayat 2 Undang-Undang Pilkada Nomor 10 tahun 2016 mensyaratkan usulan dua pasangan calon kepada DPRD untuk dipilih (Pasal 174 ayat 1 dan 2).
Sebagai calon rekan sekerja, tentu saja bupati punya hak bicara dengan koalisi partai dalam proses pencalonan. Penulis tidak akan percaya bahwa selama ini Bupati Djafar tidak membangun komunikasi dengan partai pengusung, tokoh agama dan tokoh publik.
Bahkan ketua-ketua partai pun membangun komunikasi dengan banyak pihak di luar partai sebagai representasi rakyat. Maka usulan nama-nama calon wabup tidak mungkin tanpa komunikasi dengan bupati dan tokoh-tokoh publik.
Meski demikian, kita tidak menampik bahwa politik tidak akan pernah abai apalagi absen dari aneka kepentingan. Prinsipnya, semua kepentingan itu mesti berkiblat pada pengabdian kepada rakyat.
Politik Menelikung
Terkait lowongnya kursi wakil bupati Ende setahun lebih ini, Partai Golkar telah mengusulkan dua nama yaitu Domi Mere (Mantan Kepala Dinkes NTT) dan Heri Wadhi (Ketua Golkar Ende).
Dua nama itu merepresentasikan posisi Golkar di ruang publik yang mengakomodasi suara "dari dalam" dan apresiasi terhadap suara publik sebagai bukti kepekaan.
Suara publik ini urgen bagi partai sebagai tanda keterbukaan dan representasi akar rumput dengan empat semangat: Golkar Bersih, Golkar Bangkit, Golkar Maju dan Golkar Menang (4G).
Melusuri jejak sejarah pencalonan Marsel-Djafar pada Pilkada lalu, maka partai-partai koalisi mesti berjiwa besar mengakui bahwa lowongan kursi Wabup Ende adalah haknya Partai Golkar.
Marsel-Djafar adalah representasi bersatunya Golkar dan PDIP dalam proses kaderisasi kepemimpinan.
Sejarah demokrasi Ende telah membuktikan bahwa jalan politik dengan menumbalkan orang lain tidak berumur panjang. Soekarno mengingatkan politisi: jangan lupakan sejarah (lokal).
Artinya, cukup sudah menginvestasi beban derita di pundak rakyat.
Hasrat politik dengan menelikung di tengah jalan adalah tanda kejahatan politik dan bukti kebebalan demokrasi. Milik kaisar ya kembalikan kepada kaisar. Tidak perlu mengumbar kerakusan berlebihan tanpa nilai substansi politik dan demokrasi yaitu etika.
Manusia politik mesti dikuasai oleh akal sehat dan nurani bening. Hentikan permainan liar di air keruh. Hukum alam pun selalu berlaku dalam permainan politik.
Rakyat saat ini sedang menderita di tengah wabah pandemi. Politikus berakal sehat dan bernurani waras tidak akan mengumbar hasrat politik personal di ruang publik. Kehadiran Wabup Ende harus menjawabi kebutuhan riil rakyat.
Demokrasi tidak pernah boleh dimatikan oleh hasrat koalisi. Partai-partai koalisi mesti tahu diri dan sadar sumber daya. Menelikung dalam kebersamaan koalisi hanya untuk kepentingan sesaat sama dengan mematikan demokrasi.
Kompromi Cerdas
Thomas Meyer dalam buku Kompromi Jalur Ideal Menuju Demokrasi (2008) menyatakan, demokrasi identik dengan bersatunya banyak kepentingan yang mesti didialogkan agar mencapai tujuan sejati bagi rakyat.
Beragam kepentingan menjadi kekayaan yang butuh manajemen pengelolaan bijaksana dengan mempertimbangkan aspirasi semua golongan demi mendapatkan legitimasi dan kepercayaan publik. Jalannya melalui sebuah kompromi yang cerdas.
Kepercayaan dan kemampuan berkompromi cerdas membuat rakyat paham bahwa aspirasi dan kepentingannya dipertimbangkan secara adil. Inilah makna demokrasi yang substantif.
Budaya kompromi yang cerdas, menurut catatan sejarah, telah terbukti menjadi salah satu syarat untuk demokrasi yang sukses dan terpercaya. Kompromi merupakan jalan rasional dan solusi alternatif untuk mengakomodasi semua kepentingan, baik mayoritas maupun minoritas dengan memuliakan kepentingan publik (bonum commune).
Menyatukan sebanyak mungkin kepentingan, aspirasi dan nilai dalam pertimbangan menuju kompromi cerdas merupakan sasaran terpenting dalam demokrasi. Selama proses itu, kompromi menjadi ruang belajar bersama yang mematangkan keterampilan politik dalam ranah berdemokrasi.
Terkait kursi lowong Wabup Ende, kompromi cerdas ini mesti menjadi solusi rasional di tengah fakta "tarik tambang kepentingan" antara Partai Golkar dan partai koalisi lainnya.
Kita menduga, terbentuknya "koalisi baru" dadakan di dalam satu koalisi pengusung Marsel-Djafar patut didiskusikan lebih intens dalam kerangka masa depan demokrasi Ende. Memang, dalam politik, hanya kepentingan yang abadi. Kepentingan itu selalu momental. Pragmatisme perilaku politik model ini hanya akan menuai mudarat.
Hadirnya calon dari "koalisi baru" dalam koalisi Paket Marsel-Djafar patut diduga merupakan rajutan kepentingan instan dan pragmatis dari para ketua partai yang hasratnya membubung tapi tenaga kurang.
Orang Lio punya istilah bagus: wora. Omong besar tanpa isi. Memang tidak ada regulasi formal yang mensyaratkan proses koalisi mengusung calon. Perlu kebijaksanan dan kebesaran jiwa untuk memberi ruang pada yang lebih berhak.
Dalam proses kompromi, orang perlu membangun kesadaran diri terkait erat dengan kemampuan. Jangan terbuai oleh sokongan dari partai koalisi (tentu tidak ada makan siang gratis) tapi akhirnya tersandera selama memimpin.
Kepemimpinan kolektif kolegial. Publik Ende membutuhkan pemimpin (wakil bupati) yang bebas masalah dan tidak tersandera kepentingan politik-ekonomi (dari koalisi pengusung) agar lebih fokus dalam sinergi bersama Bupati Achmad Djafar membangun Ende di masa pandemi yang berat ini.
Kompromi cerdas dengan kiblat kepentingan bersama adalah basis demokrasi akal sehat yang akan menjadi investasi masa depan politik demi Ende sare Lio Pawe. (*)