Opini Pos Kupang

Patung Taman Tagepe Dalam Bayangan Eksistensi Manusia

Mari Membaca Opini Pos Kupang: Patung Taman Tagepe Dalam Bayangan Eksistensi Manusia

Editor: Kanis Jehola
Dok POS-KUPANG.COM
Logo Pos Kupang 

Opini Pos Kupang: Patung Taman Tagepe Dalam Bayangan Eksistensi Manusia

Oleh : Videntus Atawolo, Guru Agama Katolik, SMANKO, Kupang

POS-KUPANG.COM - "Intuisi seorang seniman menembusi zaman. Karyanya terbuka untuk penafsiran zaman. Sebab sebuah karya seni lahir dari intuisi yang menembusi zaman, mata hati yang universal dan roh yang abadi"(Creative Intuition in Art and Poetry, Maritain.1977:354).

Apabila anda mendaki Jalan Pulau Indah, sampai ke punggung jalan itu anda mengambil jalur kanan, menuju ke Barat, sebelum tiba di Kantor Lurah Kelapa Lima, pada bagian kiri anda akan bertemu dengan sebuah taman yang diberi nama Taman Generasi Penerus, yang disingkat menjadi Taman Tagepe. Sebutan Tagepe merupakan sebuah kata yang populer dalam vokabulari sosial orang Kupang yang berarti terjepit.

Taman ini dipertegas dan diperjelas dengan sebuah patung yang sederhana. Patung seorang manusia dalam posisi melangkah maju ke depan namun tubuhnya terjepit ( tagepe) oleh utasan tali yang melilit mengikat membelenggunya. Sulit untuk bergerak maju. Patung itu secara kasat mata membahasakan beban hidup yang mengikat, menggepe, menjepit.

Penjelasan Karo Tatapem Setda NTT Tentang Rencana Pelantikan Lima Pasangan Bupati Terpilih

Namun bila direnungkan lebih dalam, patung itu menggambarkan kondisi manusia yang "terlempar ke dalam dunia dan terjepit oleh keterbatasan keterbatasannya sebagai bawaan kodrati dan manusia mesti meretasnya dari waktu ke waktu untuk mempertahankan hidup serta membuat hidupnya berdaya guna dan bernilai bgi sesama dan lingkungan hidupnya "(Martin Heidegger).

Memang, sadar atau tidak, jalan hidup manusia merupakan sebuah prosesi dalam keter-"siksa"-an karena terjepit, bukan dalam pengertian fisis, melainkan karena kondisi ke-ber-ada-an manusia dengan faktisitas historis yang mesti ia terima. Yakni, misalnya, manusia lahir dari orangtua yang bukan pilihannya dengan warisan genetik, tingkat kecerdasan, tabiat, pembawaan dan bahkan dengan jenis penyakit sebagai bawaan entah asma, tekanan darah tinggi, gangguan jantung, diabetes, misalnya; ataupun sehat dan aman aman saja, serba berkecukupan sejauh hal itu mungkin; serta lingkungan hidup yang membentuknya.

Hari Valentine 223 Pasien Covid-19 di NTT Sembuh Tak Ada Pasien Meninggal

Manusia terlahir,(terlempar) kedalam dunia melalui sebuah pintu kehidupan dengan berlumuran darah dari si pemilik pintu itu disertai tangisan sebagai simbol bahwa darah adalah sumber kehidupan dan kekuatan. Manusia menangis karena keluar dari sebuah rahim yang sejuk lembut merangkul dan terlempar ke dalam rahim bumi yang keras, kompleks dan berbelit (tali pusat yang melingkari tubuh manusia ketika lahir). Dengan darah manusia hidup dan bergumul memberi arti pada hidup dan kehidupannya.

Manusia berjuang meretas taufan dan badai berupa sakit penyakit, tantangan, cobaan, persoalan, masalah, atau yang disebut prahara karena keterbatasannya sebagai ciptaan dalam menenun hidup yang kompleks serta serba tidak pasti menuju masa depannya.

Manusia sementara bergumul menuju masa depan, namun pada moment yang sama ia sedang melangkah menuju kematian. Helai helai hari yang tersobek seiring terbenamnya matahari seakan memberikan ruang kehidupan yang baru keesokannya, mendekatkan pada cita cita; namun pada saat bersamaan sobekan itu memperpendek keberadaannya.

Kontradiktif. Ironis. Absurd. Itulah hidup. Hidup manusia hanya akan bermakna jika ia masih mengejar sesuatu yang berada di depannya. Artinya hidup manusia tidak bisa secara hakiki bermakna. Manusia harus selalu merencanakan sesuatu, menginginkan sesuatu yang belum ia peroleh, sehingga hidupnya terus bermakna. Selalu ada entri point yang diretasnya seiring bergulirnya bulir bulir waktu. Manusia "mesti" menghadapi dan mengalami tantangan dan ancaman sehingga ia sungguh merasakan betapa pentingnya hidup dan kehidupan yang harus ia pertahankan, seperti ancaman Covid-19 saat ini.

Hidup adalah sebuah perjalanan (posisi patung yang sedang melangkah, walau terjepit) dan manusia menapakinya dengan percaya, berupaya dan berharap. Hidup belum selesai. Rutinitas tetap berlangsung. Yang sudah "pasti" (akan) terjadi adalah proyek manusia berhasil atau gagal. Keberuntungan atau prahara berdarah darah ber-ada di depan sebagai sebuah kemungkinan.

Selama hidup apa saja bisa mungkin. Selagi hidup, manusia tetap harus memiliki harapan. Walaupun harapan itu karena alasan tertentu menjadi dingin, lembab kemudian tak berarti, karena apa yang diharapkan gagal tergapai. Namun harapan tidak boleh mati. Masih ada waktu untuk memulai dan mencoba lagi.

Amatilah dengan cerdas patung itu. wajahnya memandang jauh ke depan. Ke arah Timur. Ke gunung Fatu Leu. Tempat di mana matahari terbit dari balik gunung tersebut. Di sinilah letak hebatnya imaginasi, fantasi dan intuisi si seniman patung tersebut yang memberikan pembelajaran bahwa masih ada hari esok yang menjanjikan, betapapun gelap dan beratnya hidup. Masih ada harapan, walaupun hanya setipis tebalnya pisau cukur Goal; atau seperti sisa api pada puntung rokok yang masih berasap.

Selain itu, si seniman tersebut memberikan makna simbolis yang kuat, dengan membiarkan tangan kanan patung itu tidak terbelenggu. Masih bisa bebas bergerak. Masih ada terobosan. Masih ada rencana. Masih ada jalan keluar. Otak tidak boleh terjepit. Akal budi masih bisa berpikir dan merencanakan; dan tangan kanan masih bisa melaksanakan. Mengerjakannya. Membuka utasan tali yang mengikat, membelenggu.

Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved