Ende, Rahim Pancasila: Reinkarnasi Soekarno dari Orator Kemerdekaan Menuju Konseptor Kenegaraan
Ende, ibu kota Kabupaten Ende di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur ( NTT), tidak bisa dipisahkan dari Bung Karno dan Pancasila
Secara rutin Bung Karno seorang diri datang ke tempat itu setiap Jumat malam.
Ia bisa menghabiskan waktu berjam-jam berada di bawah pohon Sukun itu.
Di tempat itu, Bung Karno mengaku buah pemikiran Pancasila tercetus sebagaimana dikisahkannya.
"Suatu kekuatan gaib menyeretku ke tempat itu hari demi hari. Di sana, dengan pemandangan laut lepas tiada yang menghalangi, dengan langit biru yang tak ada batasnya dan mega putih yang menggelembung, di sanalah aku duduk termenung berjam-jam. Aku memandangi samudera bergolak dengan hempasan gelombangnya yang besar memukuli pantai dengan pukulan berirama. Dan kupikir-pikir bagaimana laut bisa bergerak tak henti-hentinya. Pasang surut, namun ia tetap menggelora secara abadi. Keadaan ini sama dengan revolusi kami, kupikir. Revolusi kami tidak mempunyai titik batasnya. Revolusi kami, seperti juga samudra luas, adalah hasil ciptaan Tuhan, satu-satunya Maha Penyebab dan Maha Pencipta. Dan aku tahu di waktu itu bahwa semua ciptaan dari Yang Maha Esa, termasuk diriku sendiri dan tanah airku, berada di bawah aturan hukum dari Yang Maha Ada."
Pohon Sukun dalam bahasa daerah setempat disebut "Pu'u Pire", yang artinya "Pohon Pantangan" atau "Pohon Keramat".
Maksudnya, akar Pancasila menancap kuat di bumi Nusantara dan pantang dicabut dari bumi Nusantara.
Ende, Sa'o Ria Bhewa Pancasila, Rumah Besar Pancasila, sekaligus rahim dan ibu Pancasila.
Bung Karno pernah mengatakan, "Aku tidak mengatakan, bahwa aku menciptakan Pancasila. Apa yang kukerjakan hanyalah menggali jauh ke dalam bumi kami, tradisi-tradisi kami sendiri, dan aku menemukan lima butir mutiara yang indah."
Ende sungguh kota Pancasila. Saking kuatnya ikatan emosional-historis antara Bung Karno dan Ende, rute jalan yang biasa dilaluinya dari rumah pengasingan milik Haji Abdullah Ambuwaru menuju Gereja Katolik Kristo Regi untuk bertemu sahabatnya Pastor Paroki Ende, Gerardus Huijtink, lalu dinamakan Jalan Soekarno.
Jika tak keliru, hanya di Ende, satu-satunya kota di Indonesia yang memiliki jalan bernama Soekarno.
Sepanjang era Orde Baru hingga kini (jika tak salah) hanya ada satu nama jalan Soekarno, yaitu di kota Ende. Ende, Soekarno dan Pancasila memang tak bisa dipisahkan.
Ende adalah rumah hening, titik mula yang paling nyaman untuk menghadirkan Nusantara.
Dari Ende, Soekarno melakukan perjalanan spiritual menyelami Nusantara, menggali nilai-nilai Pancasila yang telah menyublim dalam sejarah. Ende adalah Nusantara, Nusantara adalah Ende.
Peringatan Hari Pancasila 1 Juni dan Bulan Bung Karno ini harus menjadi momentum perjuangan menegakkan Pancasila, tidak hanya refleksi, tapi dalam aksi nyata.
Pancasila adalah fondasi, "dasar statis" yang mempersatukan kita sebagai bangsa yang multikultural.
Pada saat yang sama, Pancasila adalah "bintang penuntun" (Leistar) yang mengarahkan agar mencapai tujuan negara.
Pancasila menjadi landasan kokoh moralitas dan haluan bangsa yang visioner-dinamis.
Mari jadikan Pancasila sebagai landasan spiritual etis, agar kemanusiaan, kebangsaan, dan demokrasi kita dapat mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Jaga, rawat, dan bela Pancasila. Amalkan dalam kehidupan sehari-hari. (Y F Ansy Lema adalah anggota Komisi IV DPR RI, Fraksi PDI Perjuangan)