Forum Parlemen Gelar Diskusi Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak

Forum Parlemen Indonesia Untuk Kependudukan dan Pembangunan NTT menggelar Diskusi tentang Kebijakan Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan dan anak

Editor: Hermina Pello
POS-KUPANG.COM/NOVEMY LEO
Peserta kegiatan diskusi Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak yang digelar Forum Parlemen NTT di kantor POS KUPANG, Sabtu (21/12/2019) 

POS KUPANG.COM| KUPANG- Forum Parlemen Indonesia Untuk Kependudukan dan Pembangunan NTT menggelar Diskusi Tematik tentang Kebijakan Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak, Sabtu,( 21/12/2019) di Kantor Pos Kupang.

Kegiatan diskusi tersebut juga turut diikuti oleh aliansi PKTA yang terdiri dari sejumlah organisasi peduli anak dan perempuan seperti Wahana Visi Indonesia, Save the Children, Unicef, PKBI NTT, LPA NTT. Selain anggota Forum Parlemen hadir pula para akademisi dari Fisip Undana maupun perwakilan media.

Beberapa akar persoalan oleh peserta diskusi dianggap sebagai penyebab antara lain terkait kondisi Sosio Cultural ( budaya, ) Regulasi, problem Psikologis, lingkungan, distribusi informasi, dan dampak dari perkembangan teknologi.

Kemiskinan Jadi Akar Kekerasan Terhadap Anak dan Perempuan

Sejumlah Kebijakan Perlindungan Anak Perlu Dikaji Lagi

Diskusi ini selain membedah realita kekerasan terhadap anak dan perempuan di NTT juga mendiskusikan dan dapat merekomendasian pilihan kebijakan yang mungkin dapat ditetapkan oleh parlemen dan pemerintah terkait masalah ini.

"Pilihan kebijakan dapat mendukung program pemerintah terutama pembangunan Sumber daya Manusia , "kata anggota Aliansi PKTA, Rikardus Wawo dalam kata pengantarnya sebagai moderator sebelum membuka diskusi tematik.

Suasana diskusi penghapusan kekerasan terhadap perempuan dan anak yang digelar Forum Parlemen NTT di kantor Pos Kupang, Sabtu (21/12/2019)
Suasana diskusi penghapusan kekerasan terhadap perempuan dan anak yang digelar Forum Parlemen NTT di kantor Pos Kupang, Sabtu (21/12/2019) (POS-KUPANG.COM/HERMINA PELLO)

Kasus kekerasan terhadap anak dan juga perempuan di NTT menurut Irene Koernia dari Aliansi PKTA dan Wahana Visi Indonesia, sangat mengkhawatirkan terutama dari sisi jumlah kasus yang cukup tinggi.

Kata dia, dari sisi kebijakan perlu dilihat lagi apakah kebijakan- kebijakan yang ada termasuk perda sudah cukup efektif dan menyesuaikan dengan perkembangan yang makin maju termasuk bentuk kekerasan yang juga makin beragam.

Veronika Ata mengatakan dari segi sosio- kultural sejumlah kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak termasuk kasus kawin tangkap di Sumba merupakan representasi dari kasus-kasus yang pernah terjadi sebelumnya di mana perempuan dan anak diperhadapkan dalam konteks budaya.

Peserta diskusi penghapusan kekerasan terhadap perempuan dan anak yang digelar Forum Parlemen NTT, di Kantor Pos Kupang, Sabtu (21/12/2019
Peserta diskusi penghapusan kekerasan terhadap perempuan dan anak yang digelar Forum Parlemen NTT, di Kantor Pos Kupang, Sabtu (21/12/2019 (POS-KUPANG.COM/HERMINA PELLO)

Kata Veronika Ata, budaya di satu sisi memiliki nilai tradisi yang bersifat positif.
Sedangkan di sisi lain katanya atas nama ada istiadat dan agama kekerasan terhadap anak dan perempuan terus dipertahankan.

Menurut Veronika Ata Kasus kekerasan sexual pada tahun 2018 berdasarkan catatan rumah perempuan sebanyak 8 kasus sedangkan pada tahun 2019 sebanyak 30 kasus kekerasan sexual.

Kata Veronika Ata, Persoalan utama yang dihadapi adalah masih terbatasnya ahli psikologi klinis dan ahli psikologi umum di daerah serta layanan lain seperti medis.

Di samping itu, kata Veronika Ata, Ketersedian Lembaga Bantuan hukum ( LBH ) atau pengacara juga terkesan sulit diakses oleh mereka ( para korban ) dalam rangka penegakan hukum bagi korban.

Senada dengan apa yang disampaikan Veronika Ata, Ketua Presidium Aliansi PKTA NTT yang juga salah satu c oordinator Save The Children Benyamin Leu mengatakan berdasarkan data yang berhasil dihimpun sejak tahun 2002-2018 telah terjadi 3826 kasus.

Dari 3826 kasus tersebut sebanyak 1421 kasus KDRT dan 627 kasus kekerasan terhadap anak-anak.Di samping itu tambahnya, berdasarkan data yang dihimpun dari Polres Kupang, pada tahun 2018 sebanyak 34 kasus kekerasan yang ditangani oleh Polres Kupang dan Bulan Juli tahun 2019 sebanyak 29 kasus.

Sementara itu, Dosen Fisip Undana, Yohanes Jimmy Namy dalam penjabarannya terkait kekerasan terhadap perempuan dan anak ditinjau dari perpektif Sosiologis menjelaskan bahwa tindakan kekerasan terhadap perempuan dan anak disebabkan otonomi biologis yang menganggap perempuan dan anak-anak wajar untuk diperlakukan secara amoral.

Di samping itu, kata Jimy Namy, ada bangunan sosiologis kita yang tidak dibedah dari generasi ke generasi sehingga menyebabkan labeling untuk menjustifikasi terhadap kondisi perempuan dan anak.

Bagi Jimy Nany Pendekatan biologis ini yang mau kita bongkar dengan mengedepankan kemanusiaan, tandas Jimy. (Laporan Reporter POS-KUPANG.COM, Vinsen Huler)

Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved