Opini Pos Kupang
Sina Riang di Rahim Sastra NTT
Panggung sakral khusus untuk para perempuan ini diprakarsai oleh Teater Perempuan Biasa besutan tangan dingin Dr. Lanny Koroh.
Mungkin itu simbol matinya nurani negara kepada nasib rakyatnya. Karena begitu, kita tunggu menimbun tanah berikutnya untuk mayat berikutnya. Begitu terus - menerus. Dan, hukum seakan mati oleh karena tumpukan rupiah yang telah menyilaukan mata dan rasa.
Air mata duka tak pernah habis. Entah duka siapa yang melebihi duka ini. Data BP3TKI (Balai Pelayanan, Penempatan, dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia) NTT menyebutkan, dari tahun 2015 sejumlah 28 TKI NTT dikirim pulang dalam kondisi meninggal dunia.
Di tahun 2016 sejumlah 46 orang, dan 2017 sejumlah 62 orang mati terkirim. Lalu, di tahun 2018 hingga pertengahan bulan November ini sebanyak 89 jenazah sudah kita terima. Dari sejumlah itu, hanya 3 jenazah yang legal, selebihnya adalah ilegal.
Akumulasi empat tahun sejak 2015 sampai 2018, NTT sudah menerima 225 peti mati TKI/TKW asal NTT. Sebuah angka nestapa bagi seluruh rakyat Indonesia. Ini pantas menjadi duka bangsa.
Suara Kita Semua
Sina Riang tak hanya bicara suara sumbang dari kampung sunyi mereka di Adonara. Tapi menyuarakan realitas kehidupan di NTT secara menyeluruh. Mereka membawa suara kenabian.
Suara kita semua. Suara untuk kaum yang tertindas Mereka tak ingin rahimnya kering melahirkan generasi yang hanya bisa diperbudak oleh rupiah. Mereka menantang egoisme kekuasaan yang tak serius membela kaum lemah.
Mereka menggunggat atas nama suara rakyat. Menggugat kepada mereka yang menggadai harga diri bangsa demi sepiring nasi. Menggugat mereka yang menjual harkat dan martabat rakyat sebagai pahlawan devisa negara hanya karena egoisme kekuasaan.
Menggugat siapa saja yang tega melihat pahlawan devisa mati sia-sia Menggugat agar negara hadir di sandiwara kematian rakyat. Mereka tak rela, benih yang keluar dari rahim pertiwi bersama peluh dan air, pergi begitu saja atas nama takdir kemiskinan.
Sina Riang di rahim sastra NTT, telah berbicara tentang realitas alamiah hari ini. Menyatu bersama dendang syair duka lara. Menyayat bersama irama gambus melankolis. Sina Riang tak hanya bicara sastra di dusun sunyi.
Mereka telah hadir dan membesarkan sastra di jagat raya NTT. Benih ini harus terus dijaga, dipupuk, dan harus tumbuh bersama karya-karya hebat. Sebab, jika saja politik negeri ini menyesatkan, maka sastra adalah jalan pulangnya.*