Opini Pos Kupang
Sina Riang di Rahim Sastra NTT
Panggung sakral khusus untuk para perempuan ini diprakarsai oleh Teater Perempuan Biasa besutan tangan dingin Dr. Lanny Koroh.
Apresiasi untuk Panggung Perempuan Biasa III
Oleh: Yahya Ado
Penulis Monologia `Perempuan Rembulan' di Panggung Perempuan Biasa I
POS-KUPANG.COM - Panggung Perempuan Biasa telah memasuki tahun pementasan ketiga. Panggung sakral khusus untuk para perempuan ini diprakarsai oleh Teater Perempuan Biasa besutan tangan dingin Dr. Lanny Koroh.
Ruang istimewa ini diberikan hanya bagi kaum perempuan NTT (Nusa Tenggara Timur) untuk berkarya, bersuara, dan berdaya. Tema-tema yang dikemas setiap tahun pun tentang fenomena kehidupan perempuan dan anak perempuan di bumi Flobamora ini.
Kali ini menampilkan sebuah pertunjukan kejutan. Teater Perempuan Biasa menghadirkan ibu-ibu dari dusun Belle, Desa Waiburak, Adonara, Flores Timur NTT. Mereka tergabung dalam Sanggar Sina Riang (Kampung Gembira) yang terbentuk sejak tahun 2014.

Mereka datang beramai-ramai ke kota Kupang, ibu kota provinsi NTT untuk mementaskan sebuah teater yang diberi judul "Deran Ata Kerume (Sahabat Deran)".
Teater yang disutradarai oleh Veronika Ratumaking, mengambil realitas kehidupan sosial terkini di bumi tandus nusa cendana. Kisah tentang seorang anak perempuan yang menjadi korban TKW (Tenaga Kerja Wanita) di luar negeri, lalu mati setelah diperjualbelikan menjadi pekerja seks komersial (PSK).
Janji manis saat seorang germo yang membujuknya di usia sekolah menengah pertama (SMP) untuk mendapat pekerjaan bagus dan mendapat banyak uang tak sama kenyataan sebenarnya.
Sina Riang mementaskan teater kemanusiaan ini dua kali di Kota Kupang. Pertama pada Minggu malam, 11 November 2018 di Taman Budaya Gerson Poyk yang mampu memukau ratusan penonton.
Kedua, Sina Riang mendapat tawaran khusus untuk pentas secara live di panggung TVRI (Televisi Republik Indonesia) pada Senin, 12 November 2018 yang tak kalah menghipnotis.
Ini sebuah kehormatan, sekaligus apresiasi buat ibu-ibu yang jauh-jauh datang dari sebuah dusun sunyi di Adonara. Sekaligus ini apresiasi kepada Panggung Perempuan Biasa yang telah memberi ruang ini selama tiga tahun.
Air Mata Duka
Tema tentang TKI/TKW (Tenaga Kerja Indonesia/Tenaga Kerja Wanita) diambil karena banyak kisah memilukan yang sedang mendera batin rakyat seantero NTT.
Mendengar kisah TKI/TKW selalu memuncak emosi dalam gugatan dan goresan tangis. Sina Riang gelisah lantaran dari sudut kampungnya mereka mengalami bahkan mendengar kabar berbagai media, bahwa kematian para pahlawan devisa negara terbesar itu seakan menjadi hal lumrah tanpa jalan selesai.

Kematian hanya sekadar ratapan pilu pihak keluarga terdekat. Setelah itu selesai, dan tanpa ada daya ungkit untuk menyelesaikan. Mati sudahlah mati saja. Tak pernah berani mengungkap siapa salah.
Mungkin itu simbol matinya nurani negara kepada nasib rakyatnya. Karena begitu, kita tunggu menimbun tanah berikutnya untuk mayat berikutnya. Begitu terus - menerus. Dan, hukum seakan mati oleh karena tumpukan rupiah yang telah menyilaukan mata dan rasa.
Air mata duka tak pernah habis. Entah duka siapa yang melebihi duka ini. Data BP3TKI (Balai Pelayanan, Penempatan, dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia) NTT menyebutkan, dari tahun 2015 sejumlah 28 TKI NTT dikirim pulang dalam kondisi meninggal dunia.
Di tahun 2016 sejumlah 46 orang, dan 2017 sejumlah 62 orang mati terkirim. Lalu, di tahun 2018 hingga pertengahan bulan November ini sebanyak 89 jenazah sudah kita terima. Dari sejumlah itu, hanya 3 jenazah yang legal, selebihnya adalah ilegal.
Akumulasi empat tahun sejak 2015 sampai 2018, NTT sudah menerima 225 peti mati TKI/TKW asal NTT. Sebuah angka nestapa bagi seluruh rakyat Indonesia. Ini pantas menjadi duka bangsa.
Suara Kita Semua
Sina Riang tak hanya bicara suara sumbang dari kampung sunyi mereka di Adonara. Tapi menyuarakan realitas kehidupan di NTT secara menyeluruh. Mereka membawa suara kenabian.
Suara kita semua. Suara untuk kaum yang tertindas Mereka tak ingin rahimnya kering melahirkan generasi yang hanya bisa diperbudak oleh rupiah. Mereka menantang egoisme kekuasaan yang tak serius membela kaum lemah.
Mereka menggunggat atas nama suara rakyat. Menggugat kepada mereka yang menggadai harga diri bangsa demi sepiring nasi. Menggugat mereka yang menjual harkat dan martabat rakyat sebagai pahlawan devisa negara hanya karena egoisme kekuasaan.
Menggugat siapa saja yang tega melihat pahlawan devisa mati sia-sia Menggugat agar negara hadir di sandiwara kematian rakyat. Mereka tak rela, benih yang keluar dari rahim pertiwi bersama peluh dan air, pergi begitu saja atas nama takdir kemiskinan.
Sina Riang di rahim sastra NTT, telah berbicara tentang realitas alamiah hari ini. Menyatu bersama dendang syair duka lara. Menyayat bersama irama gambus melankolis. Sina Riang tak hanya bicara sastra di dusun sunyi.
Mereka telah hadir dan membesarkan sastra di jagat raya NTT. Benih ini harus terus dijaga, dipupuk, dan harus tumbuh bersama karya-karya hebat. Sebab, jika saja politik negeri ini menyesatkan, maka sastra adalah jalan pulangnya.*