Human Interest Story

FEATURE: Roko Molas Poco Gendang Lentang, Arak Siri Bongkok untuk Rumah Adat Baru

WARGA Kampung Lentang, Kecamatan Lelak, Kabupaten Manggarai menggelar upacara adat Roko Molas Poco.

POS-KUPANG.COM/HO
ROKO MOLAS POCO - Dalam upacara roko molas poco, perempuan duduk di atas kayu atau tiang yang digotong. Dia mengenakan kain tenunan songke, kebaya dan payung, serta duduk beralaskan bantal kaki yang terbuat dari anyaman daun pandan (tange re’a). 

Laporan Reporter POS-KUPANG.COM, Robert Ropo

POS-KUPANG.COM, RUTENG - WARGA Kampung Lentang, Kecamatan Lelak, Kabupaten Manggarai menggelar upacara adat Roko Molas Poco. Upacara Roko Molas Poco merupakan ritual adat yang membawa tiang utama (siri bongkok) untuk pembangunan rumah adat (rumah gendang) baru Gendang Lentang.

Ritual adat yang digelar pada Senin (29/9) diikuti semua warga Gendang Lentang. Juga perwakilan kampung atau Gendang Raong, Gendang Kalo dan Gendang Rejeng, serta perwakilan beberapa gendang (kampung) di sekitar Kecamatan Lelak.

Upacara Roko Molas Poco dimeriahkan tarian adat ronda dan tabuhan gong-gendang. Sejauh kira-kira 100 meter, mereka berarak melalui jalan mendaki ke ujung kampung hingga pa’ang (beranda kampung) dan natas (halaman) Kampung Lentang. 

Tiang utama atau siri bongkok itu digotong sepanjang jalan menuju kampung. Beratnya sekitar satu ton dengan panjang sekitar 9 meter.

Pjs Bupati Manggarai, Dr. Drs. Zeth Libing, M.Si saat menghadiri acara Ritus Adat Roko Molas Poco Gendang Lempa di Desa Golo  Ropong.
Pjs Bupati Manggarai, Dr. Drs. Zeth Libing, M.Si saat menghadiri acara Ritus Adat Roko Molas Poco Gendang Lempa di Desa Golo  Ropong. (Pjs Bupati Manggarai, Dr. Drs. Zeth Libing, M.Si saat mengha)

Ketua Panitia Pembangunan Rumah Gendang Kampung Lentang, Aventinus Arson mengatakan, pembangunan rumah adat Lentang telah melalui sejumlah tahapan. Pertama diawali pembongkaran rumah gendang lama yang diawali upacara penti dopo. 

“Setelah pembongkaran itu kita buat acara peletakan batu pertama dan roko molas poco ini,” kata Aventinus.
Dikatakan, upacara roko molas poco ibarat menancap “jantung” rumah gendang yang disebut siri bongkok. 

Ajong, sapaan pria yang juga guru salah satu sekolah ini, mengatakan, pembangunan rumah adat Gendang Lentang juga tak lepas dari bantuan Pemerintah Kabupaten Manggarai, terutama Dinas Pariwisata sebesar Rp 200 juta. Ditambah biaya yang dibebankan kepada 400 kepala keluarga (KK), dengan kisaran Rp 900 ribu per KK.

Dalam upacara roko molas poco, yang duduk di atas kayu itu, katanya, adalah seorang gadis cantik, perwakilan dari pihak anak rona (keluarga pihak ibu dari leluhur Lentang).

Ajong mengatakan, di Kampung Lentang terdapat delapan ame/panga (klan). Semua warga delapan ame ini berpartisipasi dalam upacara roko molas poco. Tugas-tugasnya pun sudah dibagikan. Sedangkan perwakilan pihak anak rona diwakili anak gadisnya, untuk menduduki kayu yang digotong. Maka disebut roko molas poco.

“Dulu model mbaru gendang (rumah adat) kita itu segi empat. Maka yang dibuat upacara roko molas poco itu haju lando rata (kayu melintang), bukan tiang, dan yang duduk di atasnya adalah laki-laki,” katanya.

Pjs Bupati Manggarai, Dr. Drs. Zeth Libing, M.Si saat menghadiri acara Ritus Adat Roko Molas Poco Gendang Lempa di Desa Golo  Ropong.
Pjs Bupati Manggarai, Dr. Drs. Zeth Libing, M.Si saat menghadiri acara Ritus Adat Roko Molas Poco Gendang Lempa di Desa Golo  Ropong. (POS-KUPANG.COM/Dok Prokopim Manggarai)

Tetapi, sekarang, lanjut Ajong, kayu yang digotong warga Kampung Lentang adalah tiang atau siri bongkok, karena rumah adatnya berbentuk kerucut atau bulat (niang). Hal ini dilakukan semata untuk penyeragaman.

Ketua Seksi Adat Pembangunan Rumah Gendang Kampung Lentang, Silvester Anton Jandur mengatakan, secara sederhana “Roko Molas Poco” berasal dari tiga kata, yaitu, dari kata roko, molas dan poco. Roko artinya membawa lari, molas artinya cantik atau gadis, sedangkan poco artinya gunung. 

Dia mengatakan, menurut tradisi leluhur orang Lentang, saat upacara roko molas poco ada dua istilah, yaitu laki rami dan lando rata. Katanya, kayu yang digotong bersama warga sebenarnya bukan tiang utama (siri bongkok), tetapi kayu melintang (lando rata). 

Namun, kata dia, rumah gendang Kampung Lentang nanti berbentuk kerucut atau mbaru niang, sehingga yang harus digotong saat upacara roko molas poco adalah siri bongkok.  

“Artinya, kayu ini (kayu melintang) tidak terputus (tanpa sambungan, dari depan sampai belakang). Tetapi karena mayoritas gendang (yang baru direnovasi di Manggarai) ini bulat (niang), maka dibuatlah seperti ini,” kata Silvester.

Silvester menjelaskan simbol atau makna upacara roko molas poco. Dalam upacara ini, perempuan harus duduk di atas kayu atau tiang yang digotong. Dia mengenakan kain tenunan songke, kebaya dan payung, serta duduk beralaskan bantal kaki yang terbuat dari anyaman daun pandan (tange re’a).

POS KUPANG/EGY MOA
Warga sedang memikul kayu tiang induk untuk pembangunan rumah adat
POS KUPANG/EGY MOA Warga sedang memikul kayu tiang induk untuk pembangunan rumah adat (Pos Kupang)

“Sebenarnya kayunya tidak dipikul, tapi dipangku. Karena ibaratnya, roko itu membawa lari seorang gadis. Roko itu bawa lari dari hutan. Kenapa molas poco? Karena hanya itu satu-satunya kayu yang dilirik (kayu pilihan). Makanya disebut molas poco,” kata Silvester.

Dia mengatakan, pada zaman dulu orang-orang tua menggunakan kayu worok–sejenis kayu pilihan di hutan, sehingga ada goet atau ungkapan “porong worok eta golo, pateng wa wae”. “Semestinya tiang nok ini kayu worok. (Dan) Bongkok (tiang) harus haju pateng,” katanya.

Akan tetapi, karena perkembangan zaman sekarang, maka kayu yang digunakan untuk tiang rumah Gendang Lentang adalah kayu jati merah. Sebelum kayu dibawa ke kampung, maka warga harus membuat sejumlah ritual.

Di antaranya, sebelum dipotong, harus meminta izin kepada roh kayu dengan mempersembahkan ayam bulu tiga.

“Tujuannya agar kayu yang dipotong tidak mencelakai warga, dan roh dari tanah (naga tana) tidak marah,” katanya.

Baca juga: FEATURE: ditandu Warga Akibat Jalan Rusak di Sikka, Fransiska Melahirkan Bayi di Tengah Jalan

Selain itu, warga melakukan dua upacara, sebelum kayu itu diarak ke kampung. Hewan persembahannya berupa manuk lale (ayam merah/perang) dan manuk cepang (ayam berbulu merah hitam). “Tujuannya untuk menolak roh yang mengikuti kayu itu, sehingga roko molas poco berjalan lancar,” katanya.

Setelah diarak, kayu tiang tadi pun sampai di kampung, tetapi didahului upacara penjemputan (tuak curu) dengan persembahan sebutir telur.

Setelah itu dilakukan mandeng cepa (sirih pinang) dan upacara tempang pitak (membersihkan lumpur/kotoran), dengan mempersembahkan ayam putih. Setelah semua ritual itu dilalui, maka warga menancapkan tiang tadi di rumah baru. 

Menurut dia, tradisi leluhur seperti roko molas poco merupakan salah satu kearifan lokal orang Manggarai, dalam menghargai rumah, hutan dan kehidupan, serta sumber atau pemilik kehidupan orang Manggarai. (irfan budiman)
 

Sumber: Pos Kupang
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved