Human Interest Story

FEATURE: Roko Molas Poco Gendang Lentang, Arak Siri Bongkok untuk Rumah Adat Baru

WARGA Kampung Lentang, Kecamatan Lelak, Kabupaten Manggarai menggelar upacara adat Roko Molas Poco.

POS-KUPANG.COM/HO
ROKO MOLAS POCO - Dalam upacara roko molas poco, perempuan duduk di atas kayu atau tiang yang digotong. Dia mengenakan kain tenunan songke, kebaya dan payung, serta duduk beralaskan bantal kaki yang terbuat dari anyaman daun pandan (tange re’a). 

“Artinya, kayu ini (kayu melintang) tidak terputus (tanpa sambungan, dari depan sampai belakang). Tetapi karena mayoritas gendang (yang baru direnovasi di Manggarai) ini bulat (niang), maka dibuatlah seperti ini,” kata Silvester.

Silvester menjelaskan simbol atau makna upacara roko molas poco. Dalam upacara ini, perempuan harus duduk di atas kayu atau tiang yang digotong. Dia mengenakan kain tenunan songke, kebaya dan payung, serta duduk beralaskan bantal kaki yang terbuat dari anyaman daun pandan (tange re’a).

POS KUPANG/EGY MOA
Warga sedang memikul kayu tiang induk untuk pembangunan rumah adat
POS KUPANG/EGY MOA Warga sedang memikul kayu tiang induk untuk pembangunan rumah adat (Pos Kupang)

“Sebenarnya kayunya tidak dipikul, tapi dipangku. Karena ibaratnya, roko itu membawa lari seorang gadis. Roko itu bawa lari dari hutan. Kenapa molas poco? Karena hanya itu satu-satunya kayu yang dilirik (kayu pilihan). Makanya disebut molas poco,” kata Silvester.

Dia mengatakan, pada zaman dulu orang-orang tua menggunakan kayu worok–sejenis kayu pilihan di hutan, sehingga ada goet atau ungkapan “porong worok eta golo, pateng wa wae”. “Semestinya tiang nok ini kayu worok. (Dan) Bongkok (tiang) harus haju pateng,” katanya.

Akan tetapi, karena perkembangan zaman sekarang, maka kayu yang digunakan untuk tiang rumah Gendang Lentang adalah kayu jati merah. Sebelum kayu dibawa ke kampung, maka warga harus membuat sejumlah ritual.

Di antaranya, sebelum dipotong, harus meminta izin kepada roh kayu dengan mempersembahkan ayam bulu tiga.

“Tujuannya agar kayu yang dipotong tidak mencelakai warga, dan roh dari tanah (naga tana) tidak marah,” katanya.

Baca juga: FEATURE: ditandu Warga Akibat Jalan Rusak di Sikka, Fransiska Melahirkan Bayi di Tengah Jalan

Selain itu, warga melakukan dua upacara, sebelum kayu itu diarak ke kampung. Hewan persembahannya berupa manuk lale (ayam merah/perang) dan manuk cepang (ayam berbulu merah hitam). “Tujuannya untuk menolak roh yang mengikuti kayu itu, sehingga roko molas poco berjalan lancar,” katanya.

Setelah diarak, kayu tiang tadi pun sampai di kampung, tetapi didahului upacara penjemputan (tuak curu) dengan persembahan sebutir telur.

Setelah itu dilakukan mandeng cepa (sirih pinang) dan upacara tempang pitak (membersihkan lumpur/kotoran), dengan mempersembahkan ayam putih. Setelah semua ritual itu dilalui, maka warga menancapkan tiang tadi di rumah baru. 

Menurut dia, tradisi leluhur seperti roko molas poco merupakan salah satu kearifan lokal orang Manggarai, dalam menghargai rumah, hutan dan kehidupan, serta sumber atau pemilik kehidupan orang Manggarai. (irfan budiman)
 

Sumber: Pos Kupang
Halaman 2 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved