NTT Terkini
Tenun Ikat Jadi Sumber Harapan: Kisah Hilde Bangkit Bersama Amartha
Di tengah kesulitan itu, Mama Roni mendapat kabar tentang akses permodalan mikro dari Amartha melalui Ketua Kelompok TDM, Mama Margaretha.
Ringkasan Berita:
- Mama Roni mendapat kabar tentang akses permodalan mikro dari Amartha melalui Ketua Kelompok TDM, Mama Margaretha
- Bersama lebih dari 20 penenun perempuan lain dalam kelompok, Mama Rony merasakan manfaat ekonomi sekaligus kebersamaan.
Laporan Reporter POS-KUPANG.COM, Tari Rahmaniar
POS-KUPANG.COM, KUPANG — Tenun ikat bukan sekadar kain bagi Febronia Ulan (51), warga Tuak Daun Merah (TDM), Kota Kupang. Dari helai demi helai benang, ia merajut harapan bagi keluarganya—sekaligus menjaga warisan budaya yang telah melekat sejak kecil.
Sejak lulus sekolah dasar, Febri yang akrab disapa Mama Roni telah belajar menenun dari orang tuanya.
"Dari kecil, baru tamat SD saya mulai belajar tenun. Kalau saya tidak belajar, mama bilang nanti saya tidak bisa kawin,” ujarnya sambil tersenyum, Kamis (30/10).
Keterampilan yang awalnya jadi kewajiban tradisi itu kini menjelma menjadi sumber penghidupan. Bertahun-tahun mengasah kemampuan, pada 2015 ia mulai menjual hasil tenunnya.
Namun perjalanan usahanya tak selalu mulus. Keterbatasan modal dan bahan baku seperti benang menjadi tantangan utama.
Di tengah kesulitan itu, Mama Roni mendapat kabar tentang akses permodalan mikro dari Amartha melalui Ketua Kelompok TDM, Mama Margaretha.
“Saya tanya Mama Margareta, ada kooperasi untuk kita pinjam? Dia bilang ada kelompok masih butuh. Saya ikut turun bergabung,” ungkapnya.
Bergabung pada 2023, ia memperoleh modal pertama sebesar Rp5 juta, kemudian naik menjadi Rp7 juta pada tahun berikutnya. Modal tersebut digunakan untuk membeli benang dan pewarna sehingga produksi bisa berlanjut.
“Manfaatnya untuk tambah modal, beli benang supaya saya bisa tenun lebih banyak,” ujarnya.
Dari setiap kain yang dihasilkan, penghasilannya kini stabil. Mama Rony mampu menjual sekitar enam lembar kain per bulan dengan pendapatan lebih dari Rp1 juta.
Sarung tenun ia jual sekitar Rp750 ribu, sementara selendang dihargai Rp200 ribu Rp500 ribu. Untuk motif rumit yang memerlukan proses ikat panjang, harga dapat mencapai Rp2 juta lebih.
Baca juga: Amartha Buka Akses Modal Rp1 Triliun bagi 140 Ribu UMKM Perempuan di NTT
“Kalau motif besar dan ikatnya banyak, itu lama. Paling cepat dua bulan baru jadi satu sarung,” ujarnya.
Tak hanya mengandalkan penjualan langsung, ia juga menyewakan sarung kepada pelajar dengan tarif Rp100 ribu per helai serta mengikuti pameran. Pelanggan datang dari Kupang hingga luar daerah seperti Soe dan Jakarta. Hasil tenun Mama Rony bahkan kerap diolah menjadi jas dan kemeja tradisional oleh para penjahit.
Pendapatannya bukan hanya untuk bertahan hidup, tetapi juga menopang pendidikan enam anaknya.
| PLN Terangi Langkah UMKM NTT Menuju Kemandirian dan Daya Saing |   | 
|---|
| Penyaluran KUR di NTT Rp 2,2 Triliun, Realisasi DAK Fisik Terendah |   | 
|---|
| Anggota DPR RI Gavriel Novanto Rehab Sekolah Tak Layak di Kabupaten TTS |   | 
|---|
| Kemenkeu Dorong Literasi dan Inklusi Keuangan di Daerah untuk Perkuat Kedaulatan Ekonomi |   | 
|---|
| UMKM Lapas Atambua “La’Bua” Tampilkan Karya Warga Binaan di Festival UMKM NTT |   | 
|---|


 
						
					 
						
					 
						
					 
						
					 
						
					 
				
			 
											 
											 
											 
											
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.